KURSI KOSONG
“Maaf bapak, apakah betul ini kereta menuju Bogor?” tanya saya pada seorang bapak yang sedang tergesa-gesa mau naik kereta.
“Betul pak. Mari naik” jawabnya sambil lari masuk ke pintu kereta. Sayapun mengikuti langkahnya dengan tergesa.
Ini pertama kalinya saya naik Commuter Line. Canggung dan bingung. Tetapi semua perasaan itu menjadi hilang, setelah saya lihat ada kursi yang masih kosong ada didepan mata. Tanpa rasa ragu, saya mengikuti bapak tua tersebut duduk dikursi yang lumayan empuk. Namun perasaan curiga muncul, manakala saya lihat banyak orang berdiri, sementara mengapa kursi yang saya duduki ini dibiarkan kosong. Ah, mungkin mereka tidak suka duduk saat naik kereta, sehingga dibiarkanlah kursi itu menjadi kosong, begitu pikiran saya. Sekali lagi perasaan menjadi tambah curiga, manakala setiap berhenti di stasiun, banyak penumpang masuk tetapi mereka tidak mau duduk di kursi sebelah yang masih kosong. Iseng-iseng, saya mulai membaca semua tulisan yang ada didinding kereta. Dimulai dari tulisan yang ada diatas kepala. Ah, hanya iklan biasa. Tetapi, setelah melihat gambar warna biru yang terhalang punggung bapak tua yang disebelah saya, saya menjadi sadar dan pelan-pelan berdiri meraih pegangan tangan mengikuti penumpang lain yang berdiri. Ternyata sejak dari stasiun Juanda, saya telah duduk dikursi yang salah. Disitu tertulis bahwa kursi ini hanya untuk orang tua, wanita hamil, wanita menggendong anak dan orang disabilitas. Perasaan malu menyeruak dalam hati. Dengan perasaan bersalah saya kuatkan diri untuk berdiri. Kereta baru masuk stasiun Manggarai. Saya lihat pada denah rute perjalanan kereta yang ada diatas langit-langit, perjalanan sampai ke Kota Bogor masih harus melalui lima belas stasiun lagi. Duh ya Alloh Gusti, saya harus berdiri untuk sepanjang ini. Namun demi tugas anamah dari PPPTK Penjas/BK untuk mengikuti Bimtek Literasi Penulisan Buku Bagi Guru PJOK dan Guru BK, maka dengan semangat saya harus bertahan sampai ke stasiun Bogor.
Perjalanan kereta Commuter Line terasa sangat lambat sekali. Mungkin karena badan lelah setelah menempuh perjalanan dari Pekalongan menuju Stasiun Gambir selama hampir enam jam, ditambah harus naik ojek ke stasiun Juanda untuk bisa meneruskan perjalanan ke Hotel Arch yang ada di Bogor. Dalam perjalanan hati ini bertanya-tanya, kenapa stasiun Gambir yang demikian besar dan megah tidak ada kereta yang menyambung ke Bogor. Ah, saya kira tidak perlu protes. Pasti ada alasannya mengapa tidak seperti yang saya harapkan. Pak Jonan sudah banyak berjasa merubah wajah transportasi kereta api yang dulunya tidak saya sukai, sekarang menjadi alat transportasi favorit. Jadi tidak usah dipermasalahkan. Saya bangga punya stasiun Gambir yang megah dan nyaman. Apalagi tadi saat turun dari kereta Argo Bromo Anggrek bertepatan dengan waktu berbuka puasa, saya disambut oleh pegawai KAI yang membagikan makanan berbuka di pintu keluar. Sungguh pengalaman yang tidak akan terlupakan. Terima kasih PT KAI.
Perjalanan dengan Commuter Line sambil berdiri saya kira tidak menjadi masalah. Tetapi menjadi sangat ironis, manakala disamping saya berdiri ada kursi kosong yang tidak mungkin akan saya duduki. Saya laki-laki yang tidak masuk kategori orang yang berhak menduduki kursi tersebut. Saya harus tegar. Saya harus kuat. Demi tugas dan tanggung jawab, apapun akan saya lakukan.
Stasiun demi stasiun saya lewati dengan tegar. Saat kereta akan memasuki stasiun Universitas Indonesia, ada seorang anak muda yang sejak tadi kelihatan memperhatikan saya mendekat dan mencoba membuka pembicaraan. Basa basi, dia memulai pembicaraan dengan sangat sopan dan penuh perhatian. Ah, enak juga ada orang yang mau mengajak berbicara. Padahal kata orang, kota Jakarta adalah kota yang sangat individualis. Orang jarang bertegur sapa seperti masyarakat kampung saya. Ternyata anggapan itu sangat salah. Dihadapan saya ada anak muda yang mau menyapa dan berbicara untuk menghilangkan kejenuhan perjalanan yang masih jauh.
Setelah cukup lama berbincang, dengan penuh hati-hati dia mengatakan sesuatu yang membuat saya kaget bukan kepalang. “Maaf, sebaiknya bapak duduk saja. Silakan, tidak usah malu-malu”
Pikiran saya menjadi campur aduk mendengar kalimat anak muda ini. Apakah sedemikian tuanya wajah saya sehingga disuruh duduk di kursi itu?
Penulis adalah peserta Bimtek Literasi Penulisan Buku Bagi Guru PJOK dan Guru BK
PPPPTK Penjas dan BK di Hotel Arch, Bogor Tgl 15 s.d 18 Juni 2017
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren banget. Inspiratif dan menawarkan senyum.
Terima kasih Pak Eko.
kisah yang ditulis dengan bahasa yang renyah dan enak dibaca
Terima kasih atas komentarnya yang juga sangat renyah.
Mantap,lanjutkan.salam kenal
Terima kasih, salam kenal juga Bapak.
keren pak
Haha...kisah yang sangat menghibur.... tenang pak... bapak masih 17+ + + aiiih maaf apa +nya kebanyakan???
Mungkin kebanyakan berdiri Ibu. Terima kasih
Top markotop pak. Mantafff.
Terima kasih Ibu
Berderai air mata saya membaca kisah kasih di Commuter Line. bukan karena sedih, tapi karena terpingkal-pingkal menyadari sahabat saya sudah tua. wakakakakkkkkkk.........piiiiisssss pak
Bukan tua, tetapi cukup umur Ibu.......
Luar biasa .... saya jadi "mesam mesem" sendiri nih pak Andori ..!
Mesem, tetapi jangan lupa diakhiri ketawa. Terima kasih Ibu.
Mesem, tetapi jangan lupa diakhiri ketawa. Terima kasih Ibu.
Terima kasih Ibu
Keren pak...
Terima kasih motivasinya