Amir Iqra

Nama : Amiruddin, S.Pd. Lahir Di Batangase Kabutapen Maros Saat ini adalah guru di SMP Negeri 23 Simbang Kab. Maros. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kulepas Dengan Ikhlas

Kulepas Dengan Ikhlas

Matahari bersinar cerah menembus jendela kamarku. Kurasakan angin sepoi-sepoi berhembus menerpa tubuhku, segar. Di atas meja belajarku terpampang dengan jelas foto dirinya, Rahmat, sedang tersenyum manis memandangku. Sebuah senyuman kecil tersungging dari bibirku seakan membalas senyuman yang setiap hari menemaniku dengan segudang kenangan bersama dirinya.

Kusibak tirai kain jendela agar cahaya lebih leluasa menyinari kamarku. Kupandangi taman kecil yang tertata rapi dan apik, dipenuhi dengan bunga aglonema yang sekarang sedang naik daun menandingi bunga-bunga lainnya. Pandanganku kembali tertuju pada figura di atas meja.

“Kak Rahmat…” Aku mendesah perlahan.

Nafasku terasa berat. Yah, ini adalah bulan ketiga kami terpisah semenjak kejadian hari itu. Jika mengingatnya seakan aku ingin pergi saja meninggalkan dunia yang fana ini. Bagaimana tidak, untuk yang ketiga kalinya Ibu  menolak lamaran laki-laki yang sangat kusayangi.

“Ibu, tidakkah kau ingin membuat anakmu ini bahagia?” Tanyaku lirih hampir tak terdengar. Kurasakan kedua bola mataku mulai basah.

“Mengapa Ibu lebih mementingkan harga diri dan nama baik di mata orang lain tanpa memikirkan perasaanku.”

       Kuakui  Kak Rahmat adalah lelaki yang membuatku berani mengambil keputusan untuk membina bahtera rumah tangga, walaupun banyak konflik dan pertentangan dari keluarga besarku, utamanya Ibu, yang tidak merestui bahkan menolak Kak Rahmat menjadi pendamping hidupku dengan alasan apa pun yang kuberikan.

"Fitri, apa yang kamu harapkan dari laki-laki seperti dia?” Ucap ibuku di suatu senja saat aku mengutarakan niatku untuk segera menikah dengan Kak Rahmat.

“Kak Rahmat lelaki yang baik dan bertanggung jawab, Ibu.” jawabku.

“Bertanggung jawab? Coba kamu pikir baik-baik, gunakan akal sehatmu, Nak! Bagaimana dia bisa bertanggung jawab jika tidak memiliki pekerjaan? Ingat! Kamu ini seorang pegawai negeri, dari keluarga terpandang, sepatutnya kamu menikah dengan laki-laki dari keluarga yang sederajat dengan keluarga kita dan juga memiliki pekerjaan tetap!” jelas ibuku dengan nada yang agak tinggi.

“Jika kamu masih memilih Rahmat sebagai calon suamimu, kamu tidak akan pernah mendapatkan restu dari Ibu.” tegas ibu sambil berlalu meninggalkanku. Terdengar suara pintu yang dibanting oleh ibu.

Aku tersentak. Bagai petir di siang hari saat mendengar kata-kata ibu. Dadaku terasa sesak, seakan sebongkah batu besar mengganjal di sana, membuatku susah untuk bernafas. Begitu terjal perjalanan cintaku, penuh onak dan  duri penghalang untuk meraih bahagia. Namun itu tak membuatku patah semangat untuk memperjuangkan cinta yang telah kami bina selama bertahun-tahun, saat kami masih duduk di bangku SMA.

Memang sampai saat ini Kak Rahmat belum memiliki pekerjaan tetap. Tapi cinta kami tetap terjalin. Dialah laki-laki yang mampu meluluhkan hatiku yang keras bagaikan batu. Dialah laki-laki yang mampu membuat hatiku kuat dan bisa menggantikan sosok ayah bagiku, saat ayah pergi untuk selamanya. Kepergian ayah membuatku rapuh, karena ayah adalah segalanya bagiku. Aku memang lebih dekat dengan ayah ketimbang ibu.

“Kak Rahmat.” Ucapku sambil memandangi wajah dalam figura itu.

“Kamu memang sangat tampan, Kak.” Pujiku sambil tersenyum bagai ABG yang baru mengenal cinta.

Rahmat memang memiliki paras yang tampan. Tatapan matanya tajam namun ada keteduhan saat aku menatap  mata itu, alisnya tebal, tubuh tinggi dan berisi, lengannya begitu kokoh jika aku menggandengnya, sungguh sangat ideal. Jika kami berjalan bersama, semua mata akan tertuju kepada kami. Bagaimana tidak, dia selalu memberikan rasa aman dan terlindungi. Selalu memberikan kesan yang romantis.

Aku dilahirkan dari keluarga yang terpandang. Ayahku walaupun sudah tiada, tetapi beliau adalah seorang mantan pejabat terkenal yang punya nama besar dan berasal dari keturunan bangsawan. Ibuku (Puang Intan) juga berasal dari keluarga terpandang dan masih keturunan dekat dengan keluarga kerajaan (Puang). Sehingga aku harus menikah dengan orang dari keturunan yang sepadan dengan keluarga kami. Begitulah ibu selalu bertutur padaku.

Rahmat hanyalah anak seorang buruh tambak di kampung sebelah. Kondisi perekonomian keluarga dan kehidupannya saya akui memang jauh dari harapan keluargaku, terutama ibu. Mereka hidup secara sederhana dan pas-pasan. Rahmat adalah anak sulung dari dua bersaudara. Dia tipe orang pekerja keras. Kesehariannya membantu ayahnya untuk mengelola satu-satunya tambak milik keluarganya yang menjadi tumpuan hidup keluarga.

“Aku selalu saja terpesona jika melihatmu, Kak.” Ungkapku.

Aku pun berlalu menuju kamar mandi dan bergegas untuk kembali beraktivitas.

***

Hari ini, kembali Kak Rahmat akan melamar aku untuk yang kesekian kalinya. Jantungku berdetak tak menentu seakan berpacu dengan tarikan nafasku.

“Aku harus meyakinkan ibu agar mau menerima Kak Rahmat kali ini.” Gumamku.

 Kubuka pintu kamarku hendak menemui ibu di kamarnya. Namun ternyata beliau sedang duduk santai di sofa menikmati secangkir teh hangat sembari membaca koran hari ini. Aku duduk tepat di hadapan ibu. Hatiku mulai berkecamuk, entah kata-kata apa yang harus aku gunakan untuk pembuka pembicaraan.

“Ada apa, Fitri?” Tanya ibu membuyarkan kegugupanku.

“Maaf, Bu. Saya ingin menyampaikan kalau…” Ucapanku terhenti. Ibu meletakkan koran yang dari tadi dibacanya lalu meraih cangkir dan meneguk isinya perlahan.

“Ada apa, Fitri? Ada yang ingin kamu sampaikan?” Tanya ibu penuh selidik sambil menatapku dalam-dalam. Aku tidak berani memandang wajah ibu.

Entah keberanian dari mana akhirnya aku memberanikan diri untuk mengangkat wajahku. Kutarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kutatap wajah ibu lembut.

“Bu, besok Kak Rahmat dan ayahnya akan datang menemui Ibu.” Ucapku pelan tapi pasti.

“Untuk apa mereka datang ke mari? Melamar kamu lagi? Apa mereka tidak kapok menemui Ibu? Atau mereka sudah tidak punya rasa malu?” Kata ibu dengan nada keras penuh kebencian dan emosi.

  “Kami saling mencintai, Ibu. Apakah Ibu tidak bisa mengerti perasaanku!” Ucapku sambil menangis.

“Tidak, Fitri!” Ibu bangkit dari duduknya.

“Sampai kapan pun Ibu tidak akan pernah merestui hubungan kalian! Dari dulu Ibu kan sudah mengatakan hal ini. Sekali tidak tetap tidak!”

Bagai petir di siang hari saat mendengar kata-kata ibu kali ini. Kembali hatiku hancur mendengar kata-kata ibu yang sangat menyakitkan untukku. Aku berlalu masuk ke kamar dan membenamkan wajahku pada bantal hijau muda yang dengan setia menampung segala keluh kesahku.

Aku menangis sejadi-jadinya. Bantalku basah dengan air mataku. Waktu berlalu begitu cepat, senja di ufuk barat seiring suara adzan magrib berkumandang, aku beranjak dari tempat tidurku menuju kamar mandi.  Kembali aku berpikir kalau memang tak mendapat restu dari ibu, biarlah aku kawin lari saja, namun bagaimana dengan pekerjaanku?. Aku sudah berjuang untuk bisa mencapai cita-citaku menjadi seorang pengajar, masa aku harus meninggalkan pekerjaan tersebut.

Pergolakan pikiranku semakin menjadi dan akhirnya aku memutuskan aku  menginap saja dulu di rumah teman untuk sementara waktu aku akan meninggalkan rumah dan aku akan tinggal dulu di rumah teman.Tapi akau tak sanggup pamit langsung ke Ibu, beliau pasti melarangku.

Kuambil tas jinjingku  dan mulai ku buka lemari kayu yang berwarna coklat, dimana pakaian aku simpan. Tanpa berpikir panjang aku mengambil 2 pasangbaju dan kumasukkan ke dalam tasku.

Sebelum pergi aku meninggalkan secarik kertas di meja kamarku. Kuraih pulpen dari laci mejaku dan aku pun mulai menuliskan pesan.

 “ Ibu, maafkan Fitri. Fitri sangat menyanyangi ibu, tapi Fitri  pergi dulu menenangkan diri. Ibu  tidak perlu mencari Fitri. Aku baik-baik saja “.

Aku melangkah secara perlahan agar suara langkah kakiku tidak terdengar, kubuka pintu dengan pelan. Akhirnya malam itu aku berangkat dari rumah.

Di ujung jalan Kak Rahmat telah menungguku dengan motor Vespanya.

“ Kamu mau kemana malam ini dik ?”. Ucap Kak Rahmat sambil membantuku membawa tas yang aku jinjing.

“ Bawa aku kak kerumah Rina,  yang dekat sekolah tempatku mengajar”, jawabku.

Di bawalah aku oleh Kak Rahmat ke rumah Rina yang merupakan rekan kerjaku juga sekaligus sahabatku.

Sepanjang perjalanan kami tidak berbicara apa-apa, kami hanya terdiam, dinginnya malam seakan-akan begitu pulalah perasaan kami. Setelah melewati jalanan beton kanan kiri dikelilingi persawahan, akhirnya kami sampai dirumah Rina. Aku turun dari motor dan aku membawa tas jinjing yang dibawa Kak Rahmat.

“Terima kasih banyak Kak. Tolong jangan bilang bilang kepada siapa pun tentang apa yang aku lakukan ini. Kakak pulang yah, hati – hati aku di sini akan baik-baik saja,” pesanku kepada Kak Rahmat sambil menatap matanya.

“Baiklah, kamu hati-hati juga yah, istirahat jangan terlalu dipikirkan masalah ini,” nasehat Kak Rahmat dengan lembut.

Kak Rahmat pun membalikkan arah motornya dan segera berlalu dari pandanganku. Rumah Rina memang adalah rumah panggung sebagaimana model rumah tradisional di kampung kami.Kutapaki tangga kayu selangkah demi selangkah anak tangga sehingga tibalah aku tepat di depan pintu rumah Rina.

“Assalamu Alaikum... Rina tolong buka pintunya.“ Aku memanggil Rina sambil mengetuk pintu yang terbuat dari kayu bercat coklat.

“Waaalaikum salam, Fitri kamu sudah datang?, terdengar suara Rina dari balik pintu.

 “Mana Kak Rahmat?” jawab Rina dengan penuh selidik.

“ Kak Rahmat sudah pulang, biarlah dia tidak usah naik kesini dulu, tidak enak dilihat sama yang lain.” Balasku.

Aku di bimbing  masuk ke kamar Rina dan ku utarakan masalahku kepada Rina, Rina menyimak dengan seksama apa yang aku sampaikan.

“Rina tolong beritahu ayahmu tuk membantu aku meyakinkan ibuku agar mau menerima lamaran Kak Rahmat.” Sambil aku memelas kepada Rina.

Ayah Rina adalah sahabat ayahku. Mereka sangat akrab dan sudah seperti saudara. Ibuku pun sangat dengan keluarga Rina.

“Iya baiklah tapi malam ini kamu tidurlah dulu, tenangkan dirimu biar besok pagi kita cerita dengan ayahku,” jawab Rina meyakinkanku.

  “Terima kasih Rina, kamu memang sahabat terbaikku. “ balasku kepada Rina sambil aku merebahkan badanku di kasur. Akupun terlelap dalam dinginnya malam ini.

***

Suara kokok ayam jantang tepat disamping jendela kamar membangunkan aku. Aku bangkit dari pembaringan dan kurapikan selimut bergambar bunga mawar yang sudah menemani tidurku malam ini.

 Aku melangkah ke kamar mandi dengan pelan, bunyi papan lantai rumah kayu mengiringi langkah  kakiku, aku melewati dapur terdengar suara penggorengan.  Ternyata Rina dengan tekunnya telah menggoreng pisang yang siap disantap sebagai cemilan pagi ini.

 “Bagaimana, tidurmu semalam ,?”  sapa Rina kepadaku.

“Alhamdulillah,“ sahutku sambil kucuci mukaku dengan air yang terasa segar.

“Fitri, setelah sarapan kita bicara dengan bapak yah di ruang tamu untuk membicarakan rencana kita.“ Ucap Rina.

“ Iya, Rin.” Jawabku singkat.

Pak Sholeh ayah Rina adalah sahabat ayahku juga, mereka adalah rekan kerja di kantor kejaksaan. Pak Sholeh sudah memasuki masa pensiun. Walaupun ayahku telah meninggal tapi hubungan dengan keluarga kami masih sangat baik.  Ibu Murni, istri Pak Shaleh juga akrab dengan ibuku, mereka sering mengikuti arisan yang sama.

Pak Shaleh dan Ibu Murni sudah menunggu di ruang tamu, mereka duduk di sofa coklat  sambil menikmati secangkir teh hangat dan pisang goreng buatan Rina. Aku dan Rina duduk tepat dihadapan Ayah dan Ibu Rina.

“Bagaimana kabar ibumu Nak?” Ibu Murni membuka percakapan.

“ Baik –baik saja , Bu” jawabku.

“ Jadi nak Fitri apa yang bapak bisa bantu? “ Pak Shaleh  memulai pembicaraan.

Aku mulai pembicaraanku dan menjelaskan semua masalah yang kuhadapi tentang hubunganku dengan Kak Rahmat. Aku menyampaikan kepada orang tua Rina agar mereka dapat membantuku meyakinkan ibuku dan keluargaku agar dapat menerima Kak Rahmat sebagai suamiku.

“Baiklah nak Fitri, setelah saya mendengar semua pembicaraanmu, saya akan menemui ibumu, tapi boleh saya tahu apakah ada saudaramu yang mendukung hubungan kalian?” Tanya Pak Shaleh dengan kelembutan.

“ Iya Pak. Kak Andi yang jaksa itu sebenarnya setuju saja mengenai hubunganku ini, tapi dia juga takut sama Ibu.” jawabku dengan perlahan.

“Baiklah kalau begitu nanti kami akan bertemu di rumahnya Nak Andi. Kalau boleh, ibumu . Supaya tidak terlalu menarik perhatian  pembicaraan kami dengan orang-orang di sekitar rumahmu.“ Terang Pak Shaleh.

“Baik, Pak. Saya akan menghubungi kak Andi.” Ucapku seraya meyakinkan Pak Shaleh.

Kuraih HP OPPO pink yang kuletakkan di atas meja. Namun  jemariku hanya  mempermainkan HP itu. Aku tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskannya pada Kak Andi. Namun akhirnya aku pun memutuskan untuk menekan tombol-tombol yang ada di HP tersebut dan menghubungi Kak Andi dan menjelaskan semua masalahku serta rencana yang akan kami lakukan.

“Yaa Allah....mudahkanlah.... Berilah petunjukmu!”

***

Pertemuan Pak Shaleh dan Kak Andi akhirnya terjadi. Kak Andi duduk di sofa saat Pak Shaleh datang ke rumah.

“Assalamualaikum.” Ucap Pak Shaleh seraya mengetuk pintu rumah dengan lembut.

“Waalaikumussalam Wr. Wb. Mari, silakan masuk, Pak!” Sambut Kak Andi dengan sopan.

“Terima kasih, Nak.” Jawab Pak Shaleh singkat lalu duduk di sofa tepat di depan Kak Andi.

Keheningan pun terjadi. Pak Shaleh tertegun, lama beliau hanya menatap taplak meja hijau bergambar kupu kupu yang menghiasi meja di ruang tamu. Hingga akhirnya Pak Shaleh memecah keheningan itu.

“Maaf, Nak Andi. Kedatanganku kemari mungkin sudah disampaikan oleh Nak Fitri.” Ucap Pak Shaleh.

“Iya, Pak.” Jawabnya singkat.

“Sekarang Nak Fitri ada di rumahku. Saya sudah menganggapnya seperti anakku sendiri. Jadi saya bertanggung jawab untuk keselamatan dan kebahagiaannya. Apalagi ayah kalian adalah sahabat baikku, bahkan kami sudah berjanji untuk menjadi saudara.” Jelas Pak Shaleh panjang lebar.

“Betul, Pak.” Jawab Kak Andi singkat.

“Jadi bagaimana baiknya menurut Bapak?” Tanya Kak Andi.

“Sebaiknya kita berdua harus menemui Puang Intan, ibumu, Nak.” Ungkap Pak Shaleh.

“Alasan apa yang mesti kita sampaikan agar ibu bisa faham?” Tanya Kak Andi sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

Di sela-sela keseriusan mereka berbincang, seorang perempuan yang lumayan berparas cantik muncul dari balik gorden membawa nampan berisi dua gelas berwarna merah yang berembun karena dinginnya air yang ada di dalamnya.

“Mari, silakan Pak!” Sambil meletakkannya di atas meja berdampingan dengan toples berisi kue nastar yang sudah lebih dulu ada di meja.

“Iya, Terima kasih, Nak.” Jawab Pak Shaleh sambil tersenyum ramah.

“Kita bisa memberikan alasan utama adalah bahwa mereka saling mencintai. Mengingat usia mereka tidak muda lagi, sudah terlampaui terlalu jauh.” Terang Pak Shaleh.

“Iya, Pak. Semoga saja ibu bisa mengerti.” Jawabnya singkat.

“Mari Pak, silakan dicicipi!” Sila Kak Andi sambil meraih gelas itu.

Pembicaraan hari itu ditutup dengan kesepakatan mereka untuk bertemu Ibu Intan.

***

Hari ini begitu menyengat, mungkin karena sudah memasuki bulan April sehingga matahari seperti tepat diatas kepala. Pak Shaleh mengemudikan mobil sedan putih menuju rumahku.

 “Semoga Ibu Intan dapat menerima kami dan menyetujui pernikahan Nak Fitri,” guman Pak Shaleh sambil mengemudikan mobilnya yang sudah setia menemaninya semenjak beliau pensiun.

 Mobil Pak Shaleh sudah berbelok memasuki halaman rumah yang begitu luas dengan di kelilingi pagar tembok dan pintu besi berwarna hitam. Di depan pintu sudah menunggu Kak Andi yang masih berpakai dinas, artinya Kak Andi langsung dari kantornya menuju rumah. Pak Shaleh pun turun dari mobilnya sambil memperbaiki kemeja dan letak kacamatanya.

Kak Andi langsung menyambut  Pak Shaleh dengan senyum khasnya dan langsung mencium tangan Pak Shaleh. Kak Andi mempersilahkan Pak Shaleh masuk dan  mengarahkannya duduk di sofa berwarna coklat.

“Silakan duduk Pak,” sambil mengarahkan Pak Shaleh ke sofa.

“Iya Nak, terima kasih,” jawab Pak Shaleh.

“Tunggu sebentar pak saya masuk dulu ke kamar ibu dulu, ujar Kak Andi kepada Pak Shaleh dengan membungkuk.

Kak Andi melangkah menuju kamar ibu yang berada tepat di samping ruang tamu, dengan pelan Kak Andi  mengetuk pintu kamar yang terbuat dari kayu dan dicat warna coklat.

“Assalamu alaikum,  Ibu,” sapa Kak Andi dengan pelan.

“Ada Pak Shaleh, Ibu.” Lanjut Kak Andi.

“Waalaikum salam,” jawab ibu dengan suara yang lemah dari balik pintu sambil membuka pintu kamar dengan dengan pelan.

“ Iya Nak, tunggu sebentar saya merapikan pakaian dulu,” jawab ibu dengan tatapan mata yang kosong.

Wajah ibu nampak lusuh, kerutan wajahnya semakin nampak. Matanya sembab, semenjak kepergianku malam itu, ibu tak pernah keluar dari kamarnya.

Ibu keluar dari kamarnya, dengan memakai kebaya hitamnya. Langkah kaki yang lemah sepertinya ibu menanggung beban yang begitu berat.

“Apa kabar, Pak Shaleh?” sapa ibu kepada Pak Shaleh sambil tersenyum.

Pak Shaleh berdiri menyambut ibu  “Alhamdulillah, baik Puang Haji”. Balas Pak Shaleh, begitu sapaannya kepada ibu dengan memanggil Puag Haji.

“Kenapa Ibu Murni tidak diajak, Pak?” tanya ibu sambil membetulkan letak kacamatanya.

“Ibu di rumah Puang Haji, saya lihat tadi masih merawat bunganya, saya lihat itu kegiatannya setiap hari”, jawab Pak Shaleh sambil tertawa kecil.

“Ibu, Pak Shaleh datang mau membicarakan tentang Adik Fitri,” Kak Andi memberanikan diri berbicara dengan terbata-bata dengan mata yang tak sanggup memandang mata ibu.

“Adekmu itu telah bikin malu Ibu!. Tegas ibu dengan suara yang lantang.

“Maaf Puang Haji, saya ingin minta maaf, Fitri ada di rumah saya Puang Haji,” dengan cepat Pak Shaleh mengambil alih pembicaraan.

“Nak Fitri semenjak meninggalkan rumah ini, langsung ke rumah, dan ditemani oleh Rina. Nak Fitri aman di rumah Puang Haji,” Pak Shaleh melanjutkan pembicaraan dengan suara yang tenang seraya meyakinkan ibu.

“Itulah Pak Shaleh, saya telah gagal mendidik anak itu,! Dia lebih mementingkan lelaki yang pengangguran itu daripada saya ini ibunya, yang telah melahirkan dan membesarkannya” air mata ibu mulai menetes.

Suasana menjadi hening, Kak Andi dan Pak Shaleh tak berani untuk berbicara lagi.

“Ibu, bagaimana kalau kita cari jalan keluar masalahnya Adik Fitri,” Kak Andi memberanikan diri berbicara sambil mendekat dan memeluk tubuh ibu.

“Tidak! aku tetap tidak setuju dengan pernikahan mereka. Tapi kalau mereka mau menikah silahkan, tapi tidak di rumah dan aku tak akan menghadiri pernikahan tersebut.” Tegas ibu.

“Begini Puang Haji,  apakah Puang tidak kasihan dengan anakta Puang?” ucap Pak Shaleh dengan terbata bata.

“Fitri sudah berumur 38 Tahun, dan Rahmat sudah berumur 40 Tahun. Mereka sudah menunggu restuta Puang selama 18 Tahun.” Lanjut Pak Rahmat dengan logat bugis yang khas berusaha membujuk Ibu Intan.

“Kasihan mereka Puang Haji, Kalau mereka bukan anak yang baik mana mungkin mereka bisa bertahan selama itu untuk menjalin suatu hubungan. Bisa saja Rahmat meninggalkan Nak Fitri. Tapi ini bukti tanggung jawab dan keseriusan Nak Rahmat kepada Nak Fitri. Jadi restuilah mereka Puang Haji.” Pak Shaleh berusaha terus meyakinkan Ibu Intan.

“Tapi Rahmat itu pengangguran Pak Shaleh.” Balas ibu, mulai melembut.

“Tapi kita harus  beri  mereka kesempatan untuk membina rumah tangga, semoga mereka dapat berbahagia dengan restuta Puang.” Pak Shaleh masih berusaha meyakinkan Ibu Intan.

Ibu lama terdiam dan menarik nafas yang panjang, sambil menangis  ibu berkata,“ baiklah Pak Shaleh, saya lakukan ini karena saya menganggap Bapak adalah sahabat dari suami saya.”

“Rahmat harus melamar anak saya dan mempersiapkan “uang panaik” seratus juta rupiah.“ Tegas ibu.  

“Alhamdulillah , baiklah Puang Haji, akan saya sampaikan kepada keluarga Nak Rahmat.”  Ucap Pak Shaleh dengan penuh semangat.

“Nak Andi tolong bantu ibumu untuk mempersiapkan acara lamaran yang mungkin akan segera dilakukan oleh keluarga Rahmat.” Ucap Pak Shaleh.

“Baik Pak, akan saya lakukan,”  jawab Kak Andi penuh semangat.

“Kalau begitu Puang Haji saya pamit dulu, dan Nak Fitri akan saya antar pulang sebentar malam kerumah ini,” terang Pak Shaleh.

Pak Shaleh keluar dari pintu dengan langkah yang begitu ringan menuju sedan putih putihnya di dampingi Kak Andi dan Ibu yang berdiri di teras rumah.

***

Akhirnya proses lamaran di lakukan, keluarga Kak Rahmat datang untuk melakukan proses lamaran, dan ditetapkan uang panaik dan hari pernikahan. Proses lamaran ini berjalan lancar karena semuanya sudah diatur oleh Pak Shaleh.

Hari pernikahan pun tiba, iring iringan pengantar pengantin satu persatu memasuki pekarangan rumah yang sudah di pasang tenda berwarna biru dan dihiasi dengan hiasan berwarna hijau dan warna kuning. Sengaja warna ini akau pilih karena menjadi warna favorit kami berdua. Kak Rahmat turun dari mobil dengan lengkap dengan pakaian pengantin adat bugis. Memakai baju warna merah Kak Rahmat semakin menampakkan ketampanan dan pesonanya. Wajahnya begitu bercahaya.

Proses ijab kabul pun dilaksanakan dengan lantang Kak Rahmat mengucapkan “Saya terima, nikah dan kawinnya Fitriani binti Andi Abdullah dengan seperangkat emas dan alat shalat ,tunai karena Allah.” Tak terasa air mata ini mengalir bahagia akhirnya kami sah menjadi sepasang suami istri setelah begitu banyak menghadapai rintangan dan kendala.

Kami bersanding di pelaminan yang megah dan mendapatkan ucapan selamat dari kerabat dan para undangan. Sekali kali kupandangi wajah Kak Rahmat yang begitu bersinar dan nampak sekali kegagahannya semakin memancar, dan tatapanku dibalas dengan senyum manisnya yang menandakan diapun sangat bahagia.

Pesta pun telah usai dan kami pun beristirahat. Kak Rahmat pamit kepada saya dan ibu untuk pulang dulu kerumahnya mengambil baju pakaian ganti.

“Dik aku pulang dulu yah, aku mau kerumah mengambil baju ganti tadi lupa aku bawa. Insya Allah saya tidak lama kok. “ ucap kak Rahmat.

“Iya kak “ ucapku sambil memegang tangannya dan mengantar sampai dipintu dan saya mencium tangan suamiku.

Kak Rahmat menaiki motor Vespa dan mulai menstater gasnya. Suara khas dari motor ini begitu lekat di ingatan telingaku. Dia pergi sambil melambaikan tangan, dan aku balas lambaian tangannya. Motornya pun meninggalkan halaman rumah dan aku melangkahkan kaki kembali masuk ke rumah.

Entah mengapa tiba tiba perasaanku menjadi begitu kosong dan melayang aku berjalan tapi tubuhku seperti melayang layang. “ada apa ini ?”,  pikirku.

“Ah mungkin aku hanya kecapekan dan kurang tidur, gumanku sendiri.

Belum sempat aku melangkah kaki lagi tiba tiba ponselku berdering.  Aku melangkah menuju meja dikamarku dan mengangkat HP ku, dan dari seberang sana aku mendengar suara menanyakan apakah ini Fitri?

 “ Halo... yah saya sendiri “ saya jawab panggilan telepon yang menanyakan namaku.

“Ada apa?” saya mendengar keramaian dari telepon tersebut ,keringatku bercucuran, tanganku dingin dan gemetaran. Tubuhku bergetar, jantungku seperti melayang dan tangan yang memegang handphone kaku dan telepon yang aku pegang terjatuh.

Aku berteriak. “Kak Rahmat.......” dan saat itu aku tak tahu lagi apa kejadiannya dan aku sudah tak sadarkan diri.

Ketika aku terbangun aku sudah terbaring tempat tidur dengan seprei warna pink, dan kamar yang masih dihiasi layaknya kamar pengantin, penuh warna dan bunga di rangkai dikamarku. Aku di peluk ibu dan sahabatku Rina. Mereka memelukku erat sambil menangis tersedu sedu, ibu memelukku semakin erat.

“Fitri kenapa ini terjadi padamu nak..? dosa apa yang telah aku lakukan sehingga bisa terjadi seperti ini. Fitri... maafkan ibu nak. Mereka semua menangis sambil memelukku.

Akupun ikut menangis, badanku , jiwaku remuk mendengar tangisan ibu. “ada apa ??” ada apa ??” Kak Rahmat..ada apa dengan Kak Rahmat....sambil aku berteriak.

“Sabar nak ..kamu harus sabar..Rahmat telah pergi untuk selamanya”,  tangis ibuku semakin memuncak dan mempereat pelukannya kepadaku. “ Maafkan ibu nak “

“ Kak Rahmat....” aku semakin histeris.

“ Fitri .. Fitri.. tenang..” Rina menggoncang goncangkan tubuhku.

“ Fitri kamu harus sabar... , Kak Rahmat kecelakaan tadi di lampu merah. Tiba tiba ada mobil truk yang remnya blong dan langsung menabrak sepeda motor yang dikendarai Kak Rahmat. Kak Rahmat tidak dapat tertolong dan  meninggal di tempat.” Jelas Rina sambil menangis dan tetap memelukku.

“Tidakk... Kak Rahmat... Kenapa kamu meninggalkaku Kak...” tangisku semakin kencang.

Dari kejauhan terdengar sirene ambulans dan suara itu semakin dekat dan memasuki pekarangan rumahku. Aku berdiri dan berlari sekencang kencangnya tanpa memperdulikan orang lain yang ada disekitarku, aku berlari kearah ambulans dan ambulans sudah terbuka aku langsung memeluk tubuh suamiku.

Dengan histeris aku berteriak “Kak Rahmat...” tubuhku melayang dan aku terjatuh dan tak sadarkan diri.

Aku mencium bau minyak kayu putih menyengat dihidungku. Kubuka  mataku kupandangi sekelilingku tangisku kembali pecah dari relung hatiku yang terdalam, sakit dan sesak dadaku ini. Aku beranjak dan memeluk tubuh suamiku.

“Kak Rahmat...” suaraku memanggil namanya.

 Di ruang tamu yang dipenuhi oleh pelayat dan hiasan pengantin masih terpasang lengkap telah terbujur kaku suamiku yang baru saja menikahiku terbungkus kain. Aku memeluk tubuhnya aku cium wajahnya dengan kugoncangkan tubuhnya.

 “Kak bangun kak... jangan tinggalkan aku kak...” tangisku memuncak.

“Ya Allah kenapa cobaan berat ini kamu timpahkan kepadaku, akau baru saja merasakan kebahagiaan, tapi langsung kau ambil kebahagiaan itu Tuhannn...”

Semua menangis, ibuku tak henti – hentinya memelukku sambil selalu mengatakan

“maafkan aku nak, ibu ingin melihat kamu bahagia nak, sabar anakku” .

Aku memeluk ibuku. “ Ibu kenapa aku harus begini ibu???” tangisku semakin menjadi jadi jadi.

“Sabar nak , inilah takdir yang kamu harus jalFitri, semuanya sudah diatur oleh yang Maha Kuasa”.

“Tapi kenapa seperti ini ibu.!” jawabku ddengan nada protes.

“Kak kenapa kamu pergi begitu cepat. Kak? . kau bilang ingin bahagia bersamaku, kamu bilang ingin membuktikan bahwa kamu memang mencintaiku..tapi kenapa kamu tinggalkan aku Kak”. Aku terus berceloteh disamping jenasah suamiku sambil kupeluk tubuhnya.

 “ Sabar Fitri.. kamu harus sabar.” Rina berusaha menenangkanku.

Aku terus memeluk jasad suamiku dan air mataku tak henti hentinya mengalir. Waktu telah menunjukkan pukul 15.00. jam didinding seperti berputar begitu cepat, seakan ingin cepat memisahkan aku dengan suamiku. Hari ini juga penyelenggaran jenasah dilakukan.   Pelayat sudah berdatangan dan petugas yang akan memandikan kak Rahmat juga sudah datang .

Aku buka kain yang menutupi wajah suamiku, kupandangi wajahnya untuk terakhir kalinya air mataku seperti tak sanggup lagi mengikuti kepedihan hatiku. Kucium dan kubelai wajahnya yang dingin sambil kubisikkan di telinganya

“Tunggu aku di pintu surga kak” . pesanku dengan suara yang lembut diiribgi tangisan yang dalam. hatiku seperti tersayat sembilu, perih, tubuhku tak mampu aku gerakkan.

Datanglah petugas yang akan memandikan dan mengangkat jasad suamiku. Empat orang lelagi tegap mengangkat tubuh yang sudah kaku .Mataku tak lepas dari jasad suamiku air mataku tak henti hentinya mengalir.

 

Badan yang kaku itu dibaringkan kembali di ruang tamu dan dilakukan proses pembungkusan kain kafan.

 

Betul –betul kak Rahmat meninggalkanku untuk selama – lamanya.  Tubuh yang tegap itu telah terbungkus kain kafan, jiwaku kosong dan hampa memandanginya. Saya seperti bermimpi. Jasad itu diangkat ke keranda dan di bawah ke mesjid untuk dishalati, tubuhku lunglai dan seakan tak memiliki tenaga untuk dapat berdiri. Jasad suamiku telah diangkat dan berlalu dihadapanku untuk segera dishalati dan diantarkan kepemakaman tempat peristirahatan terakhir.

Sungguh aku tak sanggup menghadapi semua ini , namun aku menyadari inilah takdirku, aku harus melepasmu dengan ikhlas. Semoga Allah menerima segala amal kebaikanmu dan mengampuni segala dosa-dosamu. Kamu telah menunaikan tugasmu  dan membuktikan cintamu padaku bahwa hanya maut dan ajal yang mampu memisahkan kita.

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terima kasih pak.. baru belajar

10 Jan
Balas

Kereeen cerpennya, Pak. Salam literasi

10 Jan
Balas

Terima kasih .baru tahap belajar

10 Jan

Mantab cerpennya pak. Salam sukses selalu

10 Jan
Balas

Terima Kasih . Salam Sukses

12 Jan

Kereeen, btw, kok namanya Rahmat.

10 Jan
Balas

mohon maaf jika ada kesamaan nama dan tempat itu hanya kesamaan saja. he he

12 Jan



search

New Post