PJJ (Pengajian Jarak Jauh)
PJJ (Pengajian Jarak Jauh)
Hari-hari di Tahun 2020 terasa demikian cepat berlalu. Bulan demi bulan meniinggalkan kita lebih cepat dari biasanya. Kita sudah memasuki bulan kesepuluh, dan beberapa hari lagi masuk bulan kesebelas. Saya merasa bermimpi menjalani hari demi hari di masa pandemi ini. Tidak terbayangkan sebelumnya bagaimana profesi seorang guru seperti saya, yang meniscayakan kehadiran muriid di dalam kelas demi memahami pelajaran, kini benar-benar dijungkirbalikkan dengan kenyataan keharusan menjaga jarak, social distancing, sehingga proses pembelajaran pun harus dilakukan dengan jarak jauh. Saya hadir di ruang kelas yang kosong, memandangi laptop sendirian, berteriak-teriak berharap murid paham apa yang saya ajarkan, Bahasa Arab. Satu mata pelajaran yang melibatkan indera pendengaran lebih, dibanding pelajaran lain, saat mengajarkan listening atau fahm al-masmu', agar titik artikulasi (makhraj) dan intonasi benar adanya. Wasilah mata pelajaran inilah yang mengantarkan saya diberi tugas oleh Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al Azhar untuk menulis buku dars, buku pegangan, untuk pertama kali.
Bismillah, saya berucap dalam hati dan pikiran, semoga Allah membimbing saya dalam menjalankan amanah besar ini. Saya sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam menulis buku. Tidak ada karya tulis berupa buku yang saya miliki. Namun, saya sering membuat catatan-catatan untuk materi pengajian dan materi tersebut dibagikan kepada jamaah pengajian yang hadir. Saya ingin memberikan nilai lebih kepada jamaah, berupa makalah atau tulisan yang bisa mereka bawa pulang untuk bahan referensi dan catatan mereka saat dibutuhkan kembali. Metode pengajian di masyarakat yang selama ini berjalan turun temurun adalah ngaji kuping, atau dikenal dengan istilah jiping, yaitu penyampaian materi pengajian yang disampaikn guru ngaji, ustadz atau kiyai, sementara jamaah mendengarkan materi tersebut tanpa membawa kitab atau catatan lainnya. Dampak atau kelanjutan dari pengajian dengan metode seperti ini adalah jider, atau ngaji nyender, yaitu mengaji atau mendengarkan pengajian dengan cara duduk sambil bersandar di dinding masjid atau mushalla. Cara pengajian duduk bersandar di dinding inilah yang akhirnya melahirkan 'metode' pengajian lainnya yaitu yang kita sebut jiler, atau ngaji sambil ngiler, karena tanpa sadar dalam kondisi mengantuk dan tertidur pulas saat mendengarkan taushiyah seorang ustadz atau kiyai. Jadi, jika selama ini kita melihat jamaah pengajian bersimbah air mata saat mendengarkan muhasabah atau doa yang dilantunkan oleh seorang ustadz atau kiyai, maka yang terjadi dalam pengajian 'metode' jider dan jiler ini adalah jamaah bersimbah air liur saat mereka terbuai dalam mimpi indah mereka sendiri, entah apa yang disampaikan oleh sang ustadz atau kiyai mereka. Meskipun saya rasa hal ini sah-sah saja bagi mereka untuk tertidur pulas. Toh, inilah mimpi indah rakyat kecil, menikmati hidup mereka, dengan cara menghadiri pengajian sambil melepas lelah penat bekerja seharian. Bukan seperti tidurnya para anggota dewan yang duduk di kursi parlemen sana. Mungkin mereka dahulu sebelum menjadi anggota dewan juga mengikuti pengajian, bahkan mereka hafal ayat kursi. Namun sekarang, mereka hanya hafal 'kursi' semata, sementara ayatnya mereka lupakan. Astaghfirullaahal 'azhiim.
Beberapa pengajian di masa pandemi ini dilakukan dengan cara daring atau online. saya pun melakukannya. Pengurus DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) menyampaikan bahwa jamaah menginginkan pengajian agar bisa dibuka kembali. Sudah lebih dari lima bulan pengajian ditiadakan, sejak corona merebak. Bahkan Ramadhan yang biasanya semarak dengan pengajian di mana-mana, tahun ini menjadi sepi pengajian. Jamaah merindukan pengajian agar bisa dimulai kembali. Namun pemerintah masih mengharuskan masyarakat untuk social distancing, jaga jarak dan menghindari kerumunan. Maka, beberapa masjid besar berinisiatif membuka kembali pengajian dengan cara online atau daring. Mereka menyiapkan tools dan perangkat lainnya yang dibutuhkan untuk mensupport pengajian jarak jauh ini. Nah, seorang jamaah berseloroh, "Pak Ustadz, tidak hanya Pak Ustadz dan murid-murid di sekolah yang PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), kita juga di masijid ini menyelenggarakan PJJ." Lalu saya bertanya, "Apa maksud PJJ di masijid ini?" Jamaah itu pun menjawab, "PJJ maksudnya Pengajian Jarak Jauh, Pak Ustadz." Saya pun tersenyum. Di masa pandemi ini semuanya serba daring, online. Tidak hanya di perkantoran, lembaga sekolah, dan layanan publik yang mengadakan WFH (Work From Home) secara shift, bahkan tukang pijat di tempat saya ikut-ikutan minta upah urutnya ditransfer saja, tidak cash, biar seperti ustadz juga di masa pandemi, bisyarahnya via rekening. Masya Allah. Tidak terbayang bagaimana jika ngurut juga dilakukan jarak jauh. Kita memaklumi, di masa pademi covid-19 ini, kita tergolong sebagai kaum rebahan, di sekitar kita pun tidak hanya terpapar virus corona, namun ekonomi rumah tangga kita pun terkapar karena virus ini.
Dengan diadakannya pengajian jarak jauh, maka keberadaan media menjadi senjata paling ampuh untuk membuat pengajian menjadi menarik. Materi pengajian untuk jamaah yang selama ini saya ketik menggunakan microsoft word, maka sejak pandemi ini merebak, saya beralih menggunakan paparan microsoft powerpoint (ppt). Saya merasakan tantangan yang berbeda dalam menyajikan pengajian online dibanding tatap muka dan berjumpa menyapa jamaah secara langsung. Tantangan yang dihadapi selain masalah koneksi jaringan, permasalahan lainnya adalah bagaimana cara agar kita tidak ditinggal tidur oleh jamaah nan jauh di sana, sementara kita tidak bisa melihat dengan jelas dan secara langsung kondisi jamaah tersebut untuk menegur dan mengingatkannya, tentu dengan cara yang layak, atau sambil bercanda. Hal ini sangat terasa berbeda ketika pengajian dengan cara tatap muka. Apalagi saat sesi tanya jawab yang semestinya interaktif, namun terkadang terkendala tek-toknya yang membutuhkan waktu. Demikian pula untuk mengecek kembali pemahaman jamaah, dan mengonfirmasi jawaban kita, apakah sesuai atau belum dengan yang ditanyakan. Kendala-kendala saat sesi jawab ini tetap ada, meski terdapat fasilitas chat dan dibantu host sekali pun.
Menulis buku pelajaran memang berbeda dengan menulis catatan untuk pengajian. Namun kebiasaan menulis selama inilah yang mendorong keyakinan saya bahwa saya bisa menjalankan amanah ini dengan sebaik-baiknya. Saya pelajari style penulisan buku pelajaran dengan cara melihat buku-buku pelajaran bahasa Arab yang sudah beredar di pasaran. Bahkan saya membeli banyak buku-buku referensi untuk bahan penulisan buku pelajaran Bahasa Arab. Saya mulai mengamati buku-buku pelajaran Bahasa Arab karangan Prof. Dr. H. D. Hidayat, MA., seorang dosen senior dan juga pakar bahasa Arab di Indonesia. Karya Beliau banyak beredar di sekolah-sekolah MTs, madrasah Aliyah, dan pesantren-pesantren di tanah air. Bahkan dari saya masih duduk di bangku madrasah Ibtidaiyyah, setingkat SD, saya sudah menggunakan buku karya Beliau.
Kurikulum mata pelajaran bahasa Arab di YPI Al Azhar berbeda dengan kurikulum yang dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama. Dengan demikian, kita penulis buku Bahasa Arab Al Azhar berusaha mencari format baru di samping mendapatkan arahan dari para pemangku jabatan di lingkungan Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah YPI Al Azhar. Kita pun melakukan diskusi dengan para penulis buku bahasa Arab sebelumnya, karena buku bahasa Arab yang akan kita susun, bukan semata-mata baru, sudah ada buku dan kurikulum bahasa Arab sebelumnya. Namun, seiring berjalannya waktu, kurikulum juga harus mengalami perubahan disesuaikan dengan keadaan dan kondisi zaman dan arah kebijakan pengurus YPI Al Azhar. Dengan berpedoman pada kebijakan terbaru pemerintah saat itu, yaitu kurikulum 2013 (K-13), atau Kurukulum Nasional, maka YPI Al Azhar pun bergerak merespons perubahan kurikulum tersebut. Kemudian dibentuklah tim penulis buku Bahasa Arab dan penulis buku pelajaran lainnya.
Proses panjang tersebut, tidak serta merta selesai dengan telah dicetak dan diterbitkannya buku bahasa Arab dengan kurikulumnya yang terbaru (saat itu tahun 2014), namun berbagai masukan dan kritik turut serta menjadikan buku bahasa Arab seperti yang sekang kita lihat. Wallahu a'lam.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap ulasannya pak
Mantul Pengajiannya Pak Uztad Semoga Bermanfaat