MENGGALI PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER DARI BUDAYA BANGSA
MENGGALI PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER DARI BUDAYA BANGSA
Oleh: Amirudin, M.Pd.
Dipanggil Allah Tidak Menyahut
Ustaz Yusuf Mansur menulis dalam bukunya, Surat Terbuka untuk Para Ayah dan Ibu, “Terngiang ucapan ibunda, “Ibu tidak butuh anak yang pinter doangan. Ibu lebih butuh anak yang bisa doain ibu, yang sering nengokin ibu, yang bisa inget ibu di kala hidup maupun di kala mati. Ibu lebih ga butuh lagi anak yang pinter, tapi sombong. Sombong sama ibu, sombong sama sodara, apalagi sombong sama Allah. Dipanggil ama ibu engga nyahut, dipanggil sama Allah juga ga nyahut. Punya kuping kayak ga punya kuping.””[1] Ajaran ibunda Ustaz Yusuf Mansur ini mengingatkan kita agar tidak hanya mementingkan kepintaran dan kecerdasan, namun melupakan nurani, karakter, akhlak, budi pekerti, dan empati. Penanaman ajaran seperti inilah yang sangat relevan dalam dunia pendidikan kita dalam rangka penguatan pendidikan karakter.
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) adalah gerakan pendidikan di sekolah untuk memperkuat karakter siswa melalui harmonisasi olah hati (etik), olah rasa (estetis), olah pikir (literasi), dan olah raga (kinestetik) dengan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal ini senafas dengan semangat ruhiyah tujuan, ghayah atau goal pendidikan dalam Islam menurut al-Ghazali. Pendidikan menurut al-Ghazali merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk melahirkan perubahan yang progresif pada tingkah laku manusia. Dalam pandangan al-Ghazali, sentral dalam pendidikan adalah hati, sebab hati merupakan esensi dari manusia karena substansi manusia bukanlah terletak pada unsur-unsur yang ada pada fisiknya, melainkan berada pada hatinya dan memandang manusia bersifat teosentris sehingga konsep tentang pendidikannya lebih diarahkan pada pembentukan akhlak yang mulia.
Konsep pendidikan al-Ghazali dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan yaitu tujuan pendidikan, kurikulum, etika guru dan murid, serta metode pembelajaran. Konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Imam al-Ghazali sangat relevan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang ditinjau dari tujuan pendidikan, konsep pendidik dan peserta didik, metode pembelajaran, serta kurikulum yang diterapkan saat ini khususnya pendidikan karakter, di mana pada tataran aplikasi sangat mengedepankan pada aspek pengembangan intelektual, moral, dan spiritual sehingga mampu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[2]
Menelusuri Penguatan Pendidikan Karakter dari Petuah Ulama
Penguatan pendidikan karakter merupakan tradisi pengajaran warisan leluhur para orang tua dan ulama kita terdahulu. Warisan wisdom tersebut dapat kita temukan dalam bentuk nilai-nilai yang secara turun menurun kita dapatkan melalui petuah para orang tua dan ulama. Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, K.H. M. Yusuf Hasyim (1929-2007), bertutur, “Apabila kamu sudah terjun di masyarakat, maka jangan sekali-kali kamu mengandalkan kepandaianmu, sebab suatu saat akan datang orang yang lebih pandai daripada kamu. Jangan pula kamu mengandalkan hartamu, sebab suatu saat akan datang orang yang lebih kaya daripada kamu. Tetapi andalkanlah kepercayaan masyarakat yang telah diberikan kepada kamu.”[3]
Bersikap amanah dalam menjaga kepercayaan masyarakat merupakan contoh konkret penerapan pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Kunci keberhasilan hidup di mana pun berada, baik dalam dunia kerja profesional maupun peran di masyarakat terletak pada trust atau amanah orang lain terhadap diri kita. Kepercayaan masyarakat tidak serta merta diraih dengan mudah layaknya membalikkan telapak tangan. Membutuhkan waktu yang panjang untuk menghadirkan kepercayaan masyarakat. Mereka melihat sejauh mana komitmen, kejujuran, kerja keras, kesungguhan, dan keteguhan hati kita dalam meluangkan waktu untuk membimbing, mendampingi, mendidik, mengajar, mengarahkan, dan melatih mereka.
Menurut Nanang Qosim Yusuf , “Orang sukses adalah orang biasa-biasa saja, tapi punya keteguhan hati luar biasa.” Kalau anda memaknai kata-kata ini, berarti perbedaan kita secara fisik hampir dikatakan tidak ada. Kita sama-sama makan nasi dan sama-sama butuh air. Yang kita makan untuk badan hampir sama, tetapi yang hati kita makan belum tentu sama. Orang sukses bukan orang yang tingginya 5 meter atau berat badannya 300 kg atau orang yang wajahnya mulus tanpa cela, atau yang rambutnya hitam bercahaya. Ukurannya bukan hanya itu, tetapi kesuksesan seseorang diukur dari kualitas hatinya. Mungkin secara fisik dia hampir sama seperti orang kebanyakan, tetapi hatinya penuh dengan pintu maaf, pintu senyum, pintu damai, pintu ketenangan, dan pintu kesabaran yang sangat luar biasa. Di dalam pintu-pintu itulah Tuhan selalu berbicara, selalu muncul, sebagai sahabat, dan selalu hadir di saat Anda dalam keadaan terjepit.[4]
Dengan demikian karakter tidak hanya berkutat pada permasalahan tatakrama dan kesopanan semata, atau yang kita kenal dengan karakter moral atau etika, namun ia juga harus melampaui karakter kinerja profesional seperti trust (baca: amanah), bekerja keras, displin, tepat waktu, dan dapat diandalkan, sehingga akhirnya kita dipercaya pasar atau masyarakat.
Madang Dhisik nang Warung Ben Ojo Tomak
Senada dengan petuah ulama di atas, KH. Mufid Mas’ud (1928-2007), pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Sunan Pandanaran. Ngaglik, Jogjakarta, berpesan, “Le, yen kowe arep mertamu, madango dhisik nang warung. Perlune ben ojo tomak”, yang artinya, “Nak, kalau kamu mau menjadi tamu, makanlah dahulu di warung. Perlunya, biar tidak tamak.” Pesan moral di balik petuah Beliau adalah agar kita tidak tamak dan berharap banyak terhadap bantuan dan pelayanan orang lain. Dalam kasus jamuan makanan, saat perut kita sudah kenyang terlebih dahulu sebelum bertamu atau menghadiri undangan, maka dipastikan kita akan makan secukupnya dari hidangan yang tersedia. Tidak nampak ketamakan dalam diri kita saat makanan lezat terhidang di meja. Terjaga pula muru’ah kita. Demikian pula kita tidak akan mudah kecewa jika sejak semula tidak berharap banyak terhadap tuan rumah saat makanan yang disajikan tidak sesuai selera kita, atau bahkan sudah tidak tersedia lagi atau kehabisan, sehingga membuat kita tergoda untuk ghibah menyebarkan aib tuan rumah.
Demikianlah pendidikan karakter dari warisan leluhur para orang tua dan ulama terdahulu. Wisdom mereka tidak lekang atau lapuk ditelan zaman. Budaya bangsa kita yang hidup di tengah-tengah masyarakat dapat menjadi salah satu referensi bijak untuk penguatan pendidikan karakter, di samping rujukan lainnya yang baku seperti dari Alquran maupun Hadis. Para orang tua dan ulama kita terdahulu telah menekankan urgensi soft skills bagi anak-anak kita dibandingkan hard skills mereka. Bekal pendidikan karakter ini merupakan operasional dari soft skills yang sudah berkembang di masyarakat. Budaya bangsa berupa soft skills hasil inspirasi petuah ulama tersebut tetap relevan menjadi rujukan bagi standar operasional petunjuk teknis penguatan pendidikan karakter sejauh hal tersebut terkonfirmasi tidak berseberangan dengan dalil qath’iyy atau zhanniyy dari Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Yusuf Mansur, Surat Terbuka untuk Para Ayah dan Ibu, (Jakarta: Zikrul Media Intelektual, tth.), h. 9.
[2] http://ejournal.kopertais4.or.id/, Adi Fadli, Konsep Pendidikan Imam al-Ghazali dan Relevansinya dalam Sistem Pendidikan di Indonesia, Jurnal El-Hikam, Journal of Education and Religious Studies, vol.10, no.2, 2017, diunduh pada Selasa, 30 Maret 2021, pukul: 18.58.[3] Tim Penyusun Buku Kenangan Wisuda Pesantren ke-7, Dzikrayat at-Takharruj Ma’had Darus Sunnah al-Ali li ‘Ulum al-Hadis, (Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2009), hal. 77.
[4] Nanang Qosim Yusuf (Naqoy), The 7 Awareness 7 Kesadaran tentang Keajaiban Hati dan Jiwa Menuju Manusia di Atas Rata-rata, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2019), hal. 70.

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen ulasannya, Bunda. Salam literasi
alhmdllh.. semoga bermanfaat...