Ada yang bilang, "semua orang bisa menyanyi, tapi tak semua orang bisa menjadi penyanyi". Apa ini juga berlaku pada ranah kepenulisan? Saya rasa belum pernah mendengarnya.

Umpamanya berlaku alasannya apa? Kalaupun tidak, argumennya apa?

Yang sepakat sama, mungkin mengutarakan pendapat. Pertama, kerja kepenulisan bukan hal yang sembarangan. Harus mempunyai pemahaman di bidang teknik penulisan. Jika tak paham, bisa menurunkan harkat dari penulis itu sendiri maupun dunia pustaka pada umumnya. Kedua, tentu selain teknik, harus ada etika dalam diri penulis. Norma dalam kemasyarakatannya wajib dipandang. Tidak main asal tulis. Apalagi didorong rasa like-dislike semata, akibat pilihan politik.

Yang tak setuju, mungkin berkata. Pertama, jika jadi penulis, harus nglotok teknik menulis, pasti takkan pernah ada karya. Karena untuk paham, butuh waktu yang tidak sedikit. Untuk itulah kegiatan menulis tidak terlalu njlimet aturannya. Yang penting perbanyak jam terbangnya (karya). Kedua, menulis adalah soal ekspresi. Soal kebebasan. Jadi yang penting punya jiwa tanggung jawab saja. Tak perlu tetek bengek yang menyesakkan.

Apabila saya ditanya, pilih yang mana? Pastinya pilih pendapat yang tak setuju. Mengapa mengikuti golongan tersebut, bukankah mengurangi potensi keilmiahan nantinya? Alasannya persis dengan yang termaktub dalam pendapat yang tidak setuju itu. Dengan memperbanyak tulisan, otomatis akan terbiasa untuk menulis. Dan jika sudah gemar menulis, tentulah akan banyak belajar akan kekurangan. Dan inilah yang disebut learning by doing.

Mungkin ada pihak yang tak mengamini pilihan saya ini. Tapi tak mengapa. Bukankah hidup adalah pilihan?