
MAAF
Kutu buku. Aku lebih suka "ngobrol" dengan buku dari pada bercengkerama dengan anak seusia atau pun orang tua. Terlalu penyendiri dan tertutup. Sehingga apa pun yang kubaca sering salah jalur, karena semua aku tafsirkan sendiri.
Aku tak suka kekerasan. Meski aku sendiri keras. Haha... Ya.. semua pekerjaan yang ada bentuk kekerasan aku tak suka. Dulu aku sempat tak suka polisi karena menembak kaki perampok yang kabur, aku terlupa kalo perampok itu justru lebih sadis. Yang paling parah, aku sangat membenci SATPOL PP. Aku kasihan dengan para pedagang kaki lima yang lapaknya dihancurkan dan diangkut dalam mobil.
Setelah bertahun tenggelam dalam kebencian, tiba-tiba aku mencintai seorang SATPOL PP yang menjadi suamiku. Ah, bisa dibayangkan obrolan apa yang ada dalam rumah tangga kami. Selalu perdebatan tentang ketegaan SATPOL PP, dan suami menceritakan bagaimana rewelnya para pedagang kaki lima.
Aku tak percaya begitu saja. Perdebatan itu tetap mewarnai hari-hari kami. Padahal profesi suami berganti sebagai guru honorer. Hingga suatu hari ada program penggusuran pedagang kaki lima untuk memperindah kota. Ternyata setelah ada pemberitahuan, juga ada pesangon sebagai biaya mencari tempat baru. Sebulan kemudian peringatan buat mereka yang bandel enggan pindah, meski uang sudah mereka terima. Bulan berikutnya pun masih berupa peringatan, karena masih banyak yang bandel. Hingga bulan ketiga para SATPOL PP terpaksa harus membongkar lapak mereka.
Entah kenapa banyak pedagang kaki lima yang bandel. Mungkinkah himpitan ekonomi yang memaksa mereka. Entahlah.
Setiap akhir pekan, aku selalu menyempatkan menginap di rumah Ibu. Rumah Ibu di tepi jalan raya. Saat ini di depannya penuh dengan pedagang kaki lima. Hingga kami kesusahan untuk keluar masuk rumah sendiri. Belum lagi jaket, tas dan atribut lainnya mereka taruh berjajar di pagar rumah Ibu. Setiap ditegur selalu berdalih itu jalan milik umum, dan pagar rumah itu sudah resiko dipakai atau dipegang orang jalan.
Ahh... aku merasa bersalah telah menilai kejam pada SATPOL PP. Ternyata mereka benar-benar pada kondisi serba salah antara hati dan tugas membasmi si bandel.
Ternyata menafsirkan berita pun butuh bimbingan orang yang lebih paham, agar tidak salah jalan sepertiku. Apalagi menafsirkan Al Quran yang hanya berbekal terjemahan Al Quran saja. Bahayaaaa...
Pojokan MANDAJBR
Senin, 19102020

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Tafsir hidup harus memiliki pondasi....suwi loh
Nggeh leres kakak... matur tengkyu...
Betul bu, terjemah al quran itu bukan tafsir. Sukses selalu
Matur nuwun Bapak... salam literasi..