Cerita Caleg Gagal..
#TantanganGurusiana Hari Ke-19
Aku sampai di rumahnya menjelang Maghrib, badan serasa remuk redam karena perjalanan yang jauh sejak tadi pagi. Tapi dia malah menyuruhku segera mandi dan berganti pakaian layak. "Waktuku ga banyak Dek, Abang mau menerima tamu," katanya.
Aku bingung, kan tamunya aku? Tapi kami lalu sholat Maghrib berjamaah, tentu dia yang menjadi imamnya. Sejurus kemudian dia keluarkan sepeda motornya, sebuah Bebek lusuh keluaran Korea. Kamipun berboncengan ke jalan raya.
Sepanjang perjalanan yang sebenarnya pendek itu saja kuperhatikan banyak orang menyapanya, tersenyum, melambaikan tangan atau sekadar membunyikan klakson. Dia sendiri hanya menyahut dengan sedikit senyuman.
Tiba di tempat tujuan yang ternyata adalah sebuah perhelatan pesta. Begitu sampai di bagian gerbangnya dia berbisik kepadaku, "Pergilah makan sana, ambil kursimu yang mana saja. Abang di sini saja menerima tamu.."
Barulah aku mafhum siapa yang dimaksudkannya dengan tamu itu. Rupanya beliau ini sedang bertugas menerima tamu-tamu undangan pesta ini, suatu posisi yang biasanya diamanahkan kepada para orang-orangtua dan tokoh masyarakat. Karena beliau ini belum terlalu tua, dugaanku dia dianggapnya sebagai tokoh.
Selepas sholat Isya maka hiburan organ tunggalpun mulai dimainkan. Aku duduk agak di pojokan asyik menikmati lagu-lagu biduan-biduanita. Sesekali kutengok si Abang masih konsisten di gerbang penerimaan tamu, sementara para undangan semakin lama semakin ramai berdatangan. Rupanya di kampung ini semakin malam pestanya justru semakin semarak. Pantas saja si Abangan ini tergesa-gesa betul tadi.
Pukul sepuluh malam bahuku ditepuk, ternyata beliau itu. "Acara sudah selesai, yok kita pulang..", katanya.
Akupun manut saja. Kami berboncengan lagi dan kembali kuperhatikan para warga berulang-ulang menyapanya sepanjang perjalanan. Tiba di rumahnya Aku tak sabar mengomentarinya, "Ternyata Abang terkenal kalilah di sini ya?"
"Terkenal gimana Hend?", tanya dia.
"Ya, terkenallah.. Kutengok orang-orang semuanya menegor Abang tadi", jawabku.
"Wajarlah itu, Abang kan dulu Caleg, tentu banyak bersosialisasi..", katanya lagi.
"Loh, Abang nyaleg kemarin? Kok kami ga tau?", tanyaku asli benar-benar terkejut.
"Ya, ngapainlah kelen kukasih tau. Dapilnya jauh dari tempatmu di Medan sana. Sudah bagus kalo kelen ngurusi organisasi kita itu aja..", dialek si Abang sekarang sudah meniru-niru anak Medan.
"Abang... Ga menang ya?", tanyaku lagi (lalu tetiba Aku sadar itu pertanyaan yang bodoh).
"Ya iyalah Hend.. Bah, payah kalilah kau ini, kek gitu aja ga bisa nengok?", semprotnya.
"Hehehe..," Aku jadi terkekeh dibuatnya, sekarang si Abang sudah benar-benar jadi orang Medan, "dapat berapa suara Bang?"
"Banyak jugalah Hend, tapi tak cukup untuk meraih satu kursi. Akhirnya dioper ke kawan separtai yang suaranya lebih banyak", begitu jawabnya.
"Kok bisa bang? Kan Abang terkenal kutengok, orang baik lagi..", tanyaku masih dengan penasaran.
Lalu Istrinya mengantarkan kopi masing-masing segelas. Kami sedang duduk di teras rumahnya, udara malam sedang adem dan Rembulan muncul separuh di ujung daun pohon Ketapang di halaman depan. Maka Akupun insyaf, kami akan segera memasuki zona diskusi panjang seperti yang dulu biasa kami lakukan di Sekretariat dekat Kampus. Senior ini dulunya adalah Aktivis Mahasiswa level Godfather, beliau sudah khatam berbagai teori pergerakan dan aksi-aksi sosial. Seharusnya dia bermain di Jakarta, bukannya pulang kampung ke pelosok ini.
"Begini ya Adinda Hendra.. ", itu pembukaan khasnya, aku hanya tersenyum simpul, "terkenal dan jadi orang baik itu satu hal, tapi untuk tercoblos di kotak suara maka itu hal yang berbeda. Benar-benar berbeda.
Ketahuilah, terkenal dan terpilih itu tidak bergerak di garis jalan yang sama. Untuk terkenal engkau hanya perlu rajin bersosialisasi dengan masyarakat, berbuat sesuatu atau menghadiri wirid dan rewang. Mudah dan murah.
Tapi itu tak menjamin engkau akan dipilih, logika warga tidak demikian. Untuk dipilih engkau memerlukan uang --uang yang sangat banyak-, bisa kau buat untuk dana kampanye dan bisa juga membeli suara".
"Membeli suara?", tanyaku.
"Iya, membeli suara masyarakat. Itu pengertian harfiah, bukan perlambang. Nilainya bervariasi di masing-masing dapil, tapi sekurang-kurangnya 50 ribu perkepala. Tinggal kalikan dengan berapa suara yang mau kau kumpulkan. Jika harga satu kursi perlu 3000 suara maka engkau perlu anggarkan 1,5 miliar.
Jika beruntung Engkau tak perlu mengeluarkan dana segitu jika ada kawan separtaimu yang juga menjadi Caleg ambisius di dapilmu. Engkau hanya perlu memastikan suaramu lebih banyak dari dia, pinomat satu suara.."
Aku terkikik mendengar istilah pinomat itu, bahkan di Medan sekalipun kata itu sering diejek sebagai kampungan. Tapi si Abang sedang tak kesitu perhatiannya.
"Faktanya, orang baik dan terkenal masih sering kalah oleh orang baru yang sama sekali baru dan tidak berbuat apa-apa namun memiliki uang segudang. Dia bahkan tak perlu turun bersosialisasi, cukup duduk nyaman di rumahnya. Seringkali dia bukannya warga yang betul-betul tinggal di Dapil itu, dia orang luar, toh nyatanya terpilih juga.
Begitulah fenomena dahsyat politik uang di masyarakat kita".
"Apa tak ketahuan kek gituan Bang?", tanyaku. "Itu kan jelas-jelas melanggar hukum.."
"Ibarat kentut Hend, kita semua sama-sama mendengar bunyi dan mencium bau busuknya. Tapi untuk menangkapnya sangat sulit. Soalnya ada simbiosis di sini. Baik sang Caleg maupun Pemilih sama-sama hepi. Tak ada yang merasa dirugikan.
Sejujurnya saja, rakyat juga tak bisa disalahkan mutlak. Para elit itu yang membiasakan politik transaksi, Lu milih maka Gua bayar. Lalu akhirnya jadi budaya --sayangnya budaya yang negatif".
"Apa uang segitu bakal balik lagi Bang?", tanyaku lagi.
"Berapa gaji anggota DPRD kabupaten Hend?", Aku menggeleng tak tau, "jumlahnya bervariasi antara 30 - 40 juta perbulan. Itu sudah dengan segala jenis tunjangan yang dimungkinkan. Dalam setahun berarti sekitar 350 juta, kalikan dengan lima tahun masa menjabat, dapatlah angka sekitar 1,5 miliar.
Jika dana kampanyemu adalah 1,5 miliar, maka engkau baru balen tapi belum mendapat laba. Itupun dengan perhitungan engkau tak mengambil apapun dari duit gaji itu untuk membiayai keperluan harianmu. Tidak juga untuk membayari tim suksesmu dulu atau dana-dana partai. Murni untuk melunasi modal kampanye tho'.
Tapi itu kan ga mungkin Hend. Maka jalan keluarnya adalah dengan mencari pemasukan lain. Biasanya dengan main proyek atau berbagai trik korupsi dan kolusi lainnya. Maka pada akhirnya satu periode itu pikiranmu hanya bagaimana supaya bisa balik modal sembari kembali bersiap untuk Pemilu mendatang.
Sebagai Politikus konsentrasimu sekarang hanya agar bisa bertahan dari Pemilu ini ke Pemilu berikutnya. Adapun rakyat dan negeri itu bukan termasuk prioritas lagi".
"Kalau begitu mengapa Abang maju jadi Caleg pula kemarin?", selidikku.
"Karena ada yang namanya Hukum Anomali. Bahwa dalam setiap sesuatu yang mainstream akan selalu ada pengecualian. Jadi kalaupun ada politik uang, akan selalu ada kemungkinan rakyat kita tak semuanya terpikat olehnya.
Aku punya partai dan nomor urut yang bagus, Aku juga punya program dan pengalaman yang tepat. Aku tak perlu keluar uang untuk mendapatkan semua itu. Intinya, Aku berada di tempat yang sesuai di waktu yang cocok. Tak ada salahnya kuperjuangkan.
Nyatanya memang demikian. Walaupun gagal lolos tapi suara yang kukumpulkan itu lumayan banyak. Hanya saja tak cukup".
"Baiklah-baiklah, satu pertanyaan terakhir Bang," kataku, "Kok Abang malah pulang kampung sih. Kan Abang bisa aja berkecimpung di Jakarta?".
"Gila Kau Hend, ini era otonomi daerah, semua dana sekarang bererak di daerah-daerah. Bahkan desa-desa sekarang kebanjiran anggaran pembangunan. Itu semua perlu dikawal dan ini saatnya mengabdi di kampung halaman.."
"Tapi kalau politikny sekorup itu gimana peluangnya ke depan?", tanyaku (ini betul-betul yang terakhir).
"Ya gimanalah...",
Akupun termangu. (aap).
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Sinyal akan back to vilage kah ini?
Kampung awak ada dimanamana Stadz. Sulit mendefenisikannya, malah bisa jadi satu ide cerita.
Anomali, akan ada pengecualian pada sesuatu yang mainstream, mantap itu. Kita tunggulah,
Suwun Mas..
Kapan kapan cerita mengenai Team sukses juga bang. Hihihihi...
Kapan kapan cerita mengenai Team sukses juga bang. Hihihihi...
Nanti kita buatkan..