Ahmad A. Pahu

Gemar membaca, menulis, menggambar dan berdiskusi. Menyebut diri sebagai Penulis, Konsultan Pembangunan Desa dan Petani Berkacamata. Berdiam di Simpang Puncak P...

Selengkapnya
Navigasi Web
Catatan 15 Tahun Pernikahan

Catatan 15 Tahun Pernikahan

Hari ini adalah hari spesial buat keluarga kecil kami, tepat 15 tahun lalu --10 Desember 2006-- kami mengikat janji setia, nun di pedalaman Sumatera Utara: Gunungtua. Resepsi dan semua helat pernikahannya dilakukan di tempat Mertua. Suasananya masih kampung bestari dan adat-istiadat masih kental.

Aku menikmati semua itu. Ayahanda memang menginginkan Menantu dari kampung asal dan aku sendiri kepingin menelusuri budaya leluhur. Kloplah sudah.

Inilah istriku, namanya Nurhaliza Harahap..

Satu setengah dekade yang lalu tepat di hari dan tanggal ini aku menjemputnya dari kampung halamannya di Paluta menuju Duri setelah akad nikah dan resepsi pernikahan kami selesai. Harus hari itu juga menurut istiadat pernikahan Tapanuli, maka begitu Maghrib menjelang kami pun mengorek sila. Dibutuhkan waktu sekitar 3-4 jam perjalanan menuju kediaman orangtuaku, relatif terjangkau meski kami sudah berbeda propinsi (Sumut - Riau).

Saat itu dia sama sekali buta terhadap sebuah daerah bernama Duri, tak pernah mendatanginya, bahkan tak tau keberadaannya. Kami juga baru berkenalan satu sama lain, persisnya hanya dua kali bertemu sebelum ijab kabul dan semuanya terjadi hanya dalam kurun tiga bulan saja.

Jadi Duri-trip itu sejujurnya adalah pertaruhan mendebarkan baginya: orang asing dan negeri yang asing, dan itu (insya Allah) untuk selamanya. Kalau dipikir-pikir lagi, itu luar biasa juga. Bagaimana jika suami dan mertuanya tidak sebaik yang disangkakan atau tempat baru ini sama sekali tak diharapkan?

Namun bagiku sendiri hal itu adalah amanah yang terhormat dan amat kuhargai, begitu Ayahandanya menyerahkan dirinya kepadaku. Orangtuanya percaya kepadaku (atau sejatinya: kepada orangtuaku), adapun dia percaya sepenuhnya kepada Orangtuanya. Sesederhana itu saja: percaya.

Mungkin itulah yang dinamakan jodoh. Dia bertaut terkadang tanpa logika yang pasti dan jelas. Namun kini kami malah sudah memiliki tiga orang buah hati, dan sejauh ini masih akur-akur sahaja. Si Sulung sudah menjadi raja (Raja Kelana), yang tengah Si Boreg cantik (Puan Xima), serta Si Bungsu sudah menjadi da'i (Ustadz Azzam Kembara). Lengkaplah sudah.

Sejatinya sejak awal kami memang tak punya program menunda momongan. Kami justru berencana dan bersiap untuk itu, meski juga tak berarti ngoyo. Apa adanya saja, tak ada ikhtiar khusus.

Banyak pasangan suami istri yang kesulitan mendapatkan anak, mudah-mudahan kami tak seperti itu. Banyak juga yang sekadar melahirkan doang, tiap tahun brojol bagai susun paku, insya Allah kami pula tak demikian.

Ada juga yang anaknya semata laki-laki atau seluruhnya perempuan, lagi-lagi kami tak begitu. Sejauh ini semuanya sesuai dengan harapan kami, sesuatu yang kami syukuri sepenuh hati.

Di tanggal 10/12/2006 kami menikah maka sembilan bulan kemudian (lewat sedikit) anak pertama kami sudah lahir. Dan meski tak kami zahirkan secara lisan, sebenarnya kami mengharapkan anak lelaki sebagai si sulung (karena rasanya demikianlah yang pas). Lalu ananda Raja Kelana pun hadir dan istriku melunasi nazarnya dengan memberi makan anak yatim di sekitar kami.

Sekitar tiga tahun kemudian kami berencana menambah anak lagi, kami pilihkan momen yang tepat (dan cukuplah kami berdua, bertiga dengan Allah yang tau kapan tepatnya) lalu sembilan bulan kemudian ananda Puan Xima terlahir ke dunia. Dan meskipun tidak kami omongkan secara verbal, sejatinya kami memang berharap mendapatkan anak perempuan, sesuatu yang membuat keluarga kecil kami menjadi lengkap.

Kemudian, sekitar tiga tahun setelahnya kami bermufakat memberi adik lagi bagi Raja dan Xima, agaknya karena angka tiga (anak) adalah lumrah dalam keluarga besar kami. Seperti yang lalu-lalu kami tentukan sendiri hari (atau malam) yang pas dan sembilan bulan kemudian ananda Ustadz Azzam Kembara hadir.

Dan meski tidak kami nyatakan secara terbuka, kami --khususnya aku-- memang mengharapkan anak lelaki. Dan memang demikianlah Allah menganugerahkan.

Lima belas tahun atau 1,5 dasawarsa.. Mungkin aku tak sesukses kawan-kawan lain, namun dalam hal keturunan aku merasa sangat-sangat beruntung. Karunia Ilahi sungguh luar biasa, tak dapat tidak kita hanya bisa bersujud syukur: al-hamd u li 'l-Lah i Rabb il-alamin...

"Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang engkau dustakan?"

...

Sekitar seminggu yang lalu sebelum hari bersejarah ini kami sudah menyiapkan sebuah kado istimewa untuk mengenang hari baik ini. Tak lebih dari sebatang bibit durian untuk ditanam di areal TBB Puan Xima sebagaimana kebiasaanku belakangan ini. Yang membuat istimewa bukan karena jenis bibitnya --toh, menanam durian itu sudah biasa-- namun ukuran bibitnya itu yang berbeda. Tingginya tiga meter dengan polibeg besar dan tinggal tanam di lubang yang lebih besar. Harganya tentu lebih mahal pula.

Biasanya kami hanya menanam bibit durian yang tingginya maksimal 1,5 meter. Namun sekali ini tentu harus berbeda. Istriku sendiri yang bikin request spesial untuk itu. Awalnya sih karena kami membelikan pesanan bibit atas nama pasangan seniorku Muhammad Joni dan Zulhaina Tanamas, mereka meminta disiapkan bibit ukuran ekstra untuk ditanamkan di areal perpustakaan outdoor tersebut (juga untuk hari ini). Nah, istriku juga meminta jenis dan ukuran yang sama, dan aku tentu memenuhinya.

Sayangnya hujan deras turun sejak tadi malam hingga tengah hari ini. Dampaknya areal kebun pustaka itu terendam air banjir, termasuk lokasi titik tanam yang telah kami persiapkan jauh-jauh hari.

Sebagai resonansi akhirnya kami mengganti tanaman dan lokasi titik tanamnya. Aku masih punya stok bibit Pinang Batara, kami kemudian mencarikan lokasi tanah yang relatif kering. Sebuah gundukan tanah cukup strategis untuk ditanam, letaknya di perbatasan tanah kami dengan tetangga. Kearifan lokal masyarakat kita sejak dulu tanaman pinang adalah sekalian sebagai penanda batas tanah. Jadi ini klop saja.

Puan Xima dan Ustadz Azzam Kembara yang turun tangan langsung menanamkan bibit itu (si sulung Raja Kelana masih mondok di pesantren). Semoga tetap langgeng dan berbahagia. Aamiin.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Turut berbahagia membaca kisah dalam cerita ini. Salam sukses dan sehat selalu.

10 Dec
Balas

Amien dan terimakasih

05 Feb

Amien dan terimakasih

05 Feb

Amien dan terimakasih

05 Feb

Amien dan terimakasih

05 Feb

Amien dan terimakasih

05 Feb

Amien dan terimakasih

05 Feb

Amien dan terimakasih

05 Feb

Amien dan terimakasih

05 Feb

Amien dan terimakasih

05 Feb

Amien dan terimakasih

05 Feb

Amien dan terimakasih

05 Feb

Amien dan terimakasih

05 Feb



search

New Post