Ahmad A. Pahu

Gemar membaca, menulis, menggambar dan berdiskusi. Menyebut diri sebagai Penulis, Konsultan Pembangunan Desa dan Petani Berkacamata. Berdiam di Simpang Puncak P...

Selengkapnya
Navigasi Web
23 Desember, Sehari Setelah Hari Ibu dan Kenangan Kepada (Kewafatan) Ibuku
Ananda Raja Kelana menanam Durian Bawor untuk mengenang Ompung Boru-nya, Hj. Riana Harahap

23 Desember, Sehari Setelah Hari Ibu dan Kenangan Kepada (Kewafatan) Ibuku

Hari itu aku pulang ke rumah, dan itu bukan jadwal kepulangan yang tertentukan. Tengah pekan seharusnya adalah hari-hari belajarku di Pekanbaru. Tapi ada tekanan tertentu "semacam" menyuruhku untuk kembali ke Duri. Hari itu, Rabu 22 Desember 1993, lalu besoknya menjelang Maghrib ibuku --Riana Harahap-- berpulang untuk selama-lamanya. 

Ya, ternyata aku kembali hanya untuk melihatnya kembali ke haribaan Ilahi.

Tahun itu aku baru menempuh studi di kelas satu STMN 01 Pekanbaru, juga baru belajar menjadi anak kos yang jauh dari orang tua dan keluarga. Sekali sebulan setiap hari Sabtu aku akan naik bus Asia Ekspres untuk pulang ke Duri, lalu kembali hari Minggu tengah hari ke Pekanbaru bersama bekal sangu maupun makanan. Selalu begitu.

Tetapi ibuku sudah lama menderita sakit yang parah. Aku bahkan pernah minta izin bolos belajar ketika mendapat kabar beliau dirujuk ke RS Dumai. Sejak lama hepatitis telah menjangkiti dirinya, itu juga "warisan" penyakit yang telah merenggut ayahanda dan abang beliau. Waktu itu kami lebih mengenalnya sebagai sakit kuning, suatu akumulasi dari fisik yang terlalu diporsir bekerja plus istirahat yang kurang dan asupan gizi yang tidak seimbang.

Jadi sejak lama aku selalu punya "kesadaran" mental bahwa ibuku bisa wafat kapan-kapan. Bahkan dalam diam, di sekolahan pada pelajaran Agama Islam bersama Pak Mase, aku belajar menjadi imam sholat jenazah. Aku tau bahwa ketika saat itu tiba maka sudah menjadi kewajibanku sebagai anak lelaki tertua untuk tegak mensholatkan beliau dalam posisi sebagai imam. 

Namun tetap saja tak ada yang seaneh ketika hari itu aku mendadak pulang ke rumah. Tak ada kabar dan komunikasi apapun sebelumnya (dan saat itu pasti tak semudah sekarang). Tak ada. Aku hanya pulang begitu saja. Hal itu tentu saja membuat ayah dan ompung keheranan. 

Lalu besoknya ibuku pulang untuk selama-lamanya...

 

...

 

Takdir Allah menentukan bahwa ibuku wafat sehari setelah Hari Ibu. Tapi dahulu hal itu tidak terlalu menarik perhatianku. Toh, apa yang disebut sebagai hari-hari istimewa itu bukanlah sesuatu yang perlu diperhatikan oleh seorang anak remaja. Namun kini hal-hal seperti itu sudah menjadi kebiasaanku. Terutama karena setelah peringatan Hari Ibu Nasional maka berikutnya aku mengingati hari wafat ibuku sendiri. Jadi ada koneksitas kongkrit yang tidak mungkin kulupakan.

Pernah aku menulis puisi seperti berikut ini:

'Di Bawah Kamboja'

Di bawah Kamboja aku berbaring..

hujan turun sangat lebat

ilalang meninggi semak sudah ke mana-mana

Kambojapun merindang ke sana-sini

dan aku masih tetap anak yang tolol:

..lupa mengingatmu selalu!

 

Di bawah Kamboja engkau berbaring..

hujan masih juga turun deras

tanah basah dan lantai marmer ini sungguh dingin:

"Oh, aku kuyup Mak.."

(dan aku sungguh rindu padamu).

(Belakang Mesjid Nurussalamah, 23/12/2012).

 

Kini untuk mengingati beliau aku kemudian menanam sebatang pohon durian di areal TBB Puan Xima. Pagi tadi bersama ananda Raja Kelana kami menggotong bibit Durian Bawor setinggi tiga meter (dan sudah berat) ke titik tanam yang sudah ditentukan dan digali. Ananda Raja sendiri yang turun tangan langsung menyiapkan bibitnya sebelum dibumikan. 

Dia lalu bertanya, "Ini dalam rangka apa Yah?". Lalu aku menceritakan tentang peristiwa hari ini dalam sejarah keluarga kami. Dia sedikit confused, sebab ada terlalu banyak "titel" ompung yang mesti diketahuinya. Dan tentu saja ananda Raja Kelana tak sempat bertemu muka dengan almarhumah ibuku --ibu kandungku.

Namun dalam tradisi Batak Angkola ibuku --meski beliau sudah lama wafat-- akan tetap dipanggil dengan sebutan hormat sebagai: Ompu Raja (Boru). Hal itu karena Raja Kelana adalah cucu tertua dari anak tertua, di mana seorang kakek dan nenek berbahagia akan mencantumkan gelar dan panggilannya. Andai masih hidup maka ibuku tak boleh lagi dipanggil dengan namanya sendiri, beliau selamanya akan diseru: "Ahoi Ompu Raja, mau ke manakah engkau hari ini?

Maka sudah sewajarnya Raja Kelana yang menanamkan durian atas nama Ompung Gendak-nya tersebut. Semoga berkah. 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post