Agustus Magribi

Agustus Magribi, S.Pd. lahir di Jakarta, 28 Agustus 1970. Memperoleh gelar sarjana pendidikan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dari IKIP Jakarta tahun 1995. ...

Selengkapnya
Navigasi Web

DALAM HATI CINTA SELALU BERSEMI#Tantangan Menulis Gurusiana Hari Ke-9

Tinggal sepuluh menit lagi, batinku. Lalu untuk yang terakhir kalinya, aku memeriksa ulang semua jawaban yang aku tulis. Hari ini, hari terakhir tes sumatif semester ganjil. Rasanya lega sekali dapat mengikuti tes sumatif ini sampai hari terakhir tanpa ada gangguan apa pun.

Dan ketika mataku telah mengalihkan dari lembar jawaban ke muka kelas, bersamaan dengan itu pula bel tanda tes sudah selesai berbunyi. Aku bangkit, menyerahkan lembar jawabanku. Dan sewaktu aku telah ada di luar kelas, aku melihat Via, yang tidak sekelas denganku selama tes sumatif ini, sudah ada di luar. Dia sedang berjalan ke arahku.

“Gimana? Gampang-gampang, kan?” tanyaku.

“Ya, tapi nggak semua.”

“Tapi bisa ngerjainnya, kan?”

“Iya.”

Aku tersenyum, “Ke kantin, yuk.”

“Nggak ketemu Lion dulu?”

Aku mengangkat bahu, lalu mengangguk seraya tersenyum. Kemudian aku mengikuti langkah Via ke kelas tempat Lion mengikuti tes sumatif.

“Via, rasanya kita nggak perlu ke sana deh.”

“Kenapa?”

“Tuh, lihat,” tunjukku pada jalan setapak di samping koridor.

Via menoleh, lalu menatapku dengan satu anggukkan. Sementara itu, sambil membetulkan letak ranselnya yang besar, Lion semakin memperlebar langkahnya. Dia tersenyum dan melambaikan tangannya kepadaku dan Via.

Aku membalas senyumnya dengan satu pertanyaan dalam hati, untuk apa dia membawa tas ransel yang besar itu? Padahal kan sekarang sedang tes sumatif. Dan seingatku, selama tes sumatif ini, Lion selalu lenggang tanpa membawa apa-apa kecuali sebuah pulpen. Ya, pulpen yang pernah aku kembalikan dulu.

“Hai, beres, kan?” tanya Via pada Lion, membuat aku kembali dari bisikkan hatiku.

“Ya, lumayan.”

“Tapi bisa ngerjainnya, kan?”

“He-eh, dan akhirnya selesai juga.”

Aku tersenyum geli, ternyata Via bisa juga sok tahu. Itu kan kata-kataku yang aku ucapkan pada Via tadi. Tapi, hal itu aku biarkan saja. Aku asyik sendiri memperhatikan Lion.

Sejak keluar dari rumah sakit, seolah segalanya menjadi berubah pada diri Lion. Penampilannya kini semakin rapi. Selalu ada senyum manis jika berbicara, wajahnya pun kini bersih. Ah, mungkin karena dia telah mau menjalankan kewajibannya sholat lima waktu dengan kehendak hatinya sendiri.

Dan yang lebih menggembirakan, Lion kini sudah mampu bergaul dengan siapa saja, tanpa harus bertingkah macam-macam yang malah membuat orang menjauh dari dirinya.

“Ky, kok diam aja?” usik Lion.

Aku mengumbar senyumku. Mencoba mengusir kecanggunganku yang hadir tiba-tiba.

“Aku lagi bersyukur dalam hati. Meskipun hasilnya belum bisa diketahui, tapi tes sumatif ini udah selesai. Itu berarti kita bisa mengistirahatkan otak kita.”

“Setuju!” balas Lion lagi. “Terus punya rencana untuk liburan, nggak?”

“Belum ada,” jawabku singkat.

“Jalan-jalan aja, yuk?” usul Lion.

“Ke mana?”

“Yogya aja,” ucap Via.

“Aku pernah ke sana,” sahutku.

“Bali?”

“Udah beberapa kali,” sela Lion.

“Atau yang dekat aja, Bandung?”

“Sering,” kali ini aku yang jawab.

“Kalau begitu, ke mana dong?”

Aku, Via, dan Lion saling pandang. Rasanya memang belum terlintas di otak kami masing-masing untuk mengisi liburan ini ke mana.

“Begini aja deh,” ucapku. “Lebih baik kita tunggu dulu pembagian rapor. Setelah itu baru kita rencanain lagi dan pastiin ke mana kita mau pergi.”

“Jadi kamu setuju kalau kita bertiga jalan bareng?” tanya Lion padaku. Aku pun mengangguk pasti.

“Lion, kamu kok bawa ransel gede banget sih?” tanya Via tiba-tiba.

“Mau kemping.”

“Kemping? Ke mana?”

“Gunung Salak.”

“Sama siapa?” tanyaku.

“Teman-teman klub basketku. Hitung-hitung sambil latihan fisik.”

“Lion…,” ucapku tersendat, lalu kugigit bibirku.

“Ada apa, Ky?” Lion menatapku penuh ingin tahu.

“Hati-hati.”

Lion tersenyum lebar, lalu ditaruh ransel besarnya itu dan digenggamnya tanganku. Aku diam saja, ya Tuhan, kekuatan apa yang dipancarkan Lion lewat genggamannya ini.

“Jangan kuatir, Ky, aku akan hati-hati dan akan kembali ke kamu lagi.”

“Uh, jangan sok romantis deh!” sela Via, membuat aku malu.

Kemudian aku cepat-cepat menarik tanganku dari genggaman Lion. Saat itu mungkin wajahku sudah bersemu merah.

“Kapan kamu akan kembali, Lion?”

“Mungkin lusa, nggak lama kok. Aku cuma ingin benar-benar rileks sebentar aja. Ngejauhin pikiran yang nggak-nggak.”

Aku mengangguk setuju, karena aku tahu, teman-teman klub basket Lion itu adalah teman-temannya yang terjaga tingkah lakunya. Aku masih ingat perkenalanku dengan teman-temannya itu di GOR Pusat Kota. Mereka ramah, sense of humor-nya tinggi, supel, dan sopan.

Lion masuk klub basket itu adalah usulku sewaktu dia keluar dari rumah sakit. Untung deh, apa yang Yudi bilang kepadaku itu disetujui Lion. Jadinya, aku tidak perlu pusing-pusing lagi mencari kegiatan apa yang cocok bagi Lion.

“Eh, udah ya? Aku mau berangkat nih. Apa kalian mau ikut mobil aku dulu?”

“Ide yang bagus!” sambut Via.

Aku hanya mengangkat bahu saja, lalu mengikuti langkah keduanya menuju mobil Lion yang diparkirkan di tepi jalan depan sekolah.

(BERSAMBUNG)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post