Akulah bocah cilik itu yang 16 tahun silam berebutan terang bulan. Sekarang aku sudah bisa buat terang bulan sendiri di hari ulang tahunku yang lain dan baru tau kalau bon di warung sebelah rumah belum kulunasi.

Menjelang dini hari, aku merindukan bulan lukisan kakek di tepi lorong kamar mandi. Semestinya, ia melambai pelan di balik jendela menuju di mana hati diletakan: di depan cermin atau lemari tempat ibu menabung kenanganku sendiri.

"Mana," kataku geli di hari Minggu saat listrik mati. Hanya bulan berbisik lembut, "tenang, aku tidak mati."

Akulah bocah cilik itu, sekarang bertambah tua 13 tahun dan masih merindukan terang bulan juga bulan yang bulat. Dulu, pikirku, terang bulan itu terbuat dari bulan yang terang. Kenyataannya sekarang, bulan menyembunyikan terangnya bagi para jomblo yang haus cinta di malam Minggu. "Ah, kalau begini terus kapan bulan bisa terlelap dan bermimpi memakai kaca mata?" kataku. "Nanti, saat ia tertidur" jawab ibu.

Terang bulan termasuk masa lalu yang diburuh anak-anak balita yang iseng dan suka terang-terangan di bawah bulan. Persis waktu sarapan, kami selalu berdoa:

"Tuhan, di sisa doa, kami dengan rela bersikeras merayakan ulang tahun tanpa terang bulan sebab bulan milik semesta. Cukupkan kami surga kalau masih tersisa untuk menampung kenangan yang selalu dilupai ingatan. Jika bisa dikabulkan kami bakal menunggalkan rindu di hatiMu dalam mangkuk pertama dengan ikhlas.