Agustinus Gun Maran

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

KETIKA IA MEMINTA AKU MENULISKAN PUISI UNTUKNYA

"Apa yang bisa dituangkan tentangnya kalau bersua dengannya saja belum pernah? "

Ini mungkin akan menjadi ide gila untuk menuliskan sesuatu yang rasanya kosong. Isi kepala serasa berantakan untuk memulainya. Ia yang kukenal lewat temanku, lantaran mereka satu tempat kerja, mendadak akrab lewat chattingan facebook, kini seperti kakak dan adik. Ia sangat friendly, mencairkan suasana dengan guyonan-guyonan garing membuat gelak tawa dan sepi hari jadi sirna.

Obrolan-obrolan kemudian dilanjutkan melalui WhastApp. Keakraban terjalin seperti dua bocah ingusan mengaduk serbuk tanah menunggu matahari terbenam. Dari keakraban itulah getar-getar kedekatan seolah tak berjarak, pikiran untuk merahasiakan diri dari pena tak mampu disembunyikan.

Apa yang mesti dituangkan tentangnya? Sungguh teramat rumit untuk merangkai kata-kata dan imaji yang hanya bermodal mengetahuinya melalui chatingan. Percayalah semesta selalu menakjubkan. Dan apa yang dapat kutulis tentangnya adalah deretan kata yang teduh mengamini setiap kalimat tempat meletakan asa.

Dari obrolan-obrolan itu saya ingin menyelam ke palung terdalam untuk merenggut semua tentangnya. Seperti sepasang mata yang pernah sua, aku mengambil waktu sebentar untuk berkaca pada ponselku, membaca ulang semua pesan, dan berusaha untuk harus memulainya. Inilah jalan keluar paling mudah, terlepas nanti disukai atau tidak, namun, itulah keyakinanku untuk menutupi keraguan itu. Memulai dan menulis.

"Coba sesekali tu ema pu ana nong tulis sesuatu buat ema pu ana puan boleh. Sesekali tuangkan sesuatu dalam puisi supaya tau dunia seni itu indah. Pokoknya ana nong tulis dan saya mo baca". Itulah yang mendorong saya mengemas segala rasa yang jadi penghalang lewat tutur lembut tak bersuara. Sekalipun kupinjam dari desau angin atau gigil hujan Ia tetap puisi yang abadi.

KUTULIS PUISI DI NADIMU

Ada puisi yang terus di tulis ulang

Dari percakapan-percakapan tak pernah usang.

Pada sebaris malam yang ayu, aku membaca tubuhmu

Pada harum kata yang nyala

Tak ada tamu hanya getar doa.

Maka tersebutlah engkau,

Rindu yang harus dipulangkan ke mana

Pada musim yang menggumpal,

Sunyi yang lepau,

Atau kita yang labil?

Kuharap tak ada bunga yang jatuh

Pada lentik hujan yang memberi sedikit serbuk.

Peluklah dengan mesra sepenuh tubuh

Pada palung hati paling sunyi

Tempat segala doa tereja

Dan perih merintih

Merangkum segenap air mata.

Puisiku merekat sebagai debu tumbuh menjadi cinta di nadimu

Jendela celah yang jatuh cinta

sendiri.

Lewaji, 11 Januari 2023.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Karya yg luar biasa

11 Jan
Balas



search

New Post