Cerita Bersambung DUNIA DI BALIK TIRAI Bagian XIII
KABAR YANG TAK MENYENANGKAN
Aku duduk dibangku kelas setelah beberapa hari tidak diduduki. Anak anak terlihat sedih dengan kabar sakitnya Laisa. Kelas menjadi sepi tanpa celoteh dan canda tawanya.
“Laisa sakit apa, Pa?” tanya Bunga, memecah keheningan.
Aku sedikit tersenyum, tidak ingin anak-anak tahu jika Laisa terkena gejala demam berdarah.
“Laisa memang sakit, kita doakan saja supaya Laisa lekas sembuh. Tadi malam bapak sudah menjenguknya. Alhamdulilah, sudah agak baikkan.”
“Tetapi nanti Laisa masuk sekolah lagikan?” tanya Ilham.
“Tentu saja, Laisa pasti akan masuk lagi ke kelas ini dan belajar bersama kalian,” aku kembali tersenyum.
Tidak lama kemudian, terdengar ketukan di daun pintu.
Setelah aku persilahkan masuk, ternyata bapak Kepala Sekolah.
Bergegas aku bangun dari duduk “Oh, Bapak ... saya kira siapa.”
“Pak Faisal, bisa ikut saya sebentar ke kantor, ada yang perlu saya bicarakan.” Wajah pak Kepala Sekolah terlihat serius. Bergegas aku mengikuti kepala Sekolah diikuti tatapan anak-anak yang juga terlihat bertanya-tanya.
“Ada apa ini?” bisik hati kecilku.
Setelah sampai di kantor, kami berdua duduk. Kepala sekolah menarik napas panjang. Terlihat wajahnya yang penuh dengan rasa khawatir.
“Begini, pak Faisal, baru saja saya mendapat kabar jika Laisa harus di bawa Ke Jakarta ...´.”
“Jakarta?” tanyaku memotong pembicaraan.
“Apakah ada kaitanya dengan pameran lukisan yang mengikut sertakan lukisan Laisa?” tanyaku lagi.
“Bukan ... ini bukan tentang pameran lukisan, ini tentang ... .” suara pak kepala sekolah terputus. Ada rasa yang begitu berat untuk melanjutkan kata-katanya.
“Lalu?” tanyaku lagi dengan penuh perasaan.
“Begini saja, sekarang lebih baik pak Faisal menemui Laisa dan Mbok Darmi di Rumah Sakit. Tadi saya dapat kabar dari sana. Supaya lebih jelas, jika ada yang dibutuhkan untuk biaya atau apapun biar saya yang tangung.
“Huff.” Aku menarik napas. “Mungkinkah Laisa harus ... . “ Aku tidak melanjutkan kata-kata. Semoga saja yang aku takutkan tidak terjadi.
Bergegas aku menuju Rumah Sakit untuk menemui Laisa dan Mbok Darmi.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, pikiranku terus dipenuhi dengan banyak pertanyaan dan kemungkinan. Terbayang wajah Laisa, walaupun aku bukan siapa-siapanya dan baru mengnalnya belum lama, tapi sepertinya aku begitu peduli dengan kehidupannya dengan semangatnya.
Setelah sampai di Rumah Sakit, bergegas aku menemui Laisa di kamar perawatan. Terlihat mbok Darmi sedang terduduk di samping Laisa yang tertidur pulas.
Segera aku mendekati ranjang perawatan Laisa.
“Bagaimana keadaan Laisa, mbok?” aku bertanya dengan pelan, takut jika suaraku mengganggu tidur Laisa.
“Eh, .. ee .. mbok ndak tahu, pak Guru. Tapi tadi kata pak dokter ... Laisa harus di bawa ke Rumah Sakit di Jakarta,” suara mbok Darmi nyaris tak terdengar.
“Rumah Sakit? di Jakarta? memangnya sakit Laisa tambah parah?” tanyaku pada mbok Darmi.
mbok Darmi hanya terdiam. Mungkin dia tidak paham dengan pertanyaanku.
Bergegas aku menemui dokter jaga. Sekedar untuk menanyakan kondisi Laisa dan kabar tentang Rumah Sakit yang harus dituju oleh Laisa.
Aku berjalan menyusuri selasar Rumah Sakit. Setelah sampai di ruang dokter, aku dipersilahkan duduk.
Kamipun terlibat obrolan serius tentang penyakit Laisa. Dokter Martinah, yang menangani Laisa menganjurkan agar secepatnya Laisa di rujuk ke Rumah Sakit di Jakarta. Karena dari hasil diagnosa, ada benjolan yang dicurigai Tumor di sekitar kepala Laisa. Jika tidak segera diatasi, dokter khawatir akan terjadi sesuatu yang tidakdiinginkan terjadi dengan Laisa.
Jujur saja, aku hanya bisa terpaku. “Ada tumor dikepala Laisa? Ya Tuhan ... cobaan apalagi ini?”
“Dokter, bagaimana dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya pengobatan Laisa? Bukankah itu memerlukan biaya yang tidak sedikit?”
“Kalau masalah biaya, mungkin nanti bisa diurus oleh pihak keluarga,” dokter Martinah tersenyum.
“Saya sarankan, Laisa secepatnya di bawa ke Jakarta, sebelum terlambat.”
“lalu, bagaimana dengan gejala Demam Berdarahnya?” tanyaku lagi.
“Itupun masuk dalam diagnosa kami, Pak.” Sambung dokter.
“Ya Allah Ya Tuhan kami ... .” aku berbisik dalam hati.
Setelah itu aku berpamitan kepada dokter Martinah. Bergegas aku menuju kamar Laisa. Setelah sampai di dalam kamar, tatapan mbok Darmi mengikuti langahku. Aku tersenyum, berusaha menyembunyikan kabar yang kurang membahagiakan tentang Laisa.
Aku duduk di samping tempat tidur tempat laisa terbaring. Sepasang mata menutup rapat kelopaknya. Ada keindahan yang tergambar dalam mimpi gadis malang yang penuh penderitaan.
Tanganku mengambil telepon genggam di dalam saku celanaku. Mencari nomor kepala sekolah untuk menyampaikan kabar tentang sakit Laisa dan pengobatan selanjutnya. Untungah kepala sekolah begitu baik, beliau mau membantu mengurusi Laisa dan bersedia mengantarkannya ke rumah sakit di Jakarta.
Bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar