MISTERI HUTAN PINUS
RUMAH HUTAN PINUS
Bip ... bip ... biiipppp ....!
Untuk kesekian kali telepon genggam berbunyi. Lagi-lagi dari Teh RiKa, “Ada apa, Teh? Kan tadi udah dibilangin, motornya mogok. Jadi gak bisa buru-buru sampe. Lagian juga jarak yang ditempuh jauh atuh, apalagi ini baru pertamakalinya lewat jalan ini,” kataku agak ketus.
“Dih, belum juga teteh ngomong, kamu udah galak gitu, ya udah atuh, gak usah marah. Teteh cuma mau bilang, hati-hati di jalan. Masalahnya kamu lewat jalur yang baru, teteh takut terjadi apa-apa sama kamu,” suara Teh Rika, kakak perempuanku yang paling cerewet, terdengar begitu cempreng.
Kalau saja bukan teh Rika yang minta bantuan, sepertinya aku tidak akan mau. Bayangkan saja, aku harus mengantarkan kamera digital teh Rika yang tertinggal dirumah, ke kampung Caringin yang jaraknya puluhan kilometer. Puluhan? Tidak ... mungkin lebih dari seratus kilo meter! Dan kamera itu harus sampai hari ini juga!
“Dede, teteh mau minta tolong banget ... kamera teteh ketinggalan dikamar teteh. Padahal teteh butuh banget kamera itu buat mendokumentasikan kegiatan teteh. Tolong anterin sekarang ya ... nanti teteh SMS-in alamat tempat penelitian teteh ....” telepon yang lumayan membuat aku mengernyitkan dahi.
Setelah semuanya siap dan memastikan jika kamera digital yang harus aku antar sudah ada di dalam tas, aku pun melaju dengan motor besar kesayangan. Alamat yang sudah teh Rika kirim lewat pesan singkat lumayan rumit. Sepertinya jauh di peloksok desa.
Ada-ada saja, hampir setengah perjalanan aku kira, Jalan yang harus aku lalui ternyata terputus karena terkena gerusan tanah longsor bulan lalu. Padahal hari sudah mulai beranjak sore, jika saja motor tidak mengalami bocor ban depan, mungkin aku sudah sampai ke tempat tujuan.
Setelah beberapa kali bertanya, ternyata aku harus mengambil jalur berputar. Melintasi hutan pinus yang katanya lumayan sepi jika harus dilalui malam hari. Mereka menyarankan agar aku mengurungkan niat untuk lewat jalan pintas itu, kecuali berombongan atau minimal beriringan dengan beberapa motor.
“Jalannya sepi, Kang, suka ada yang aneh-aneh ... kecuali kalau Akang bener-bener punya nyali besar,” kata bapak setengah tua, yang aku temui di tepi jalan ketika aku mencoba mencari arah jalan.
“Maksudnya?” tanyaku agak heran.
“Iya, akang mendingan nyari tumpangan untuk tidur dulu di kampung sekitar sini, besok pagi baru Akang ngelanjutin perjalanan. Soalnya, jalan yang melewati hutan lumayan panjang. Apalagi enggak ada penerangan.” Si Bapak tersenyum dan pamit setelah kami bersalaman.
“Besok pagi? Mana mungkin? Teh Rika sudah wanti-wanti harus sampe sekarang,” batinku dalam hati.
Dengan hati yang penuh tanya soal saran yang sama sekali tidak masuk akal, aku pun melanjutkan perjalanan.
Motor mulai memasuki kawasan hutan pinus. Hari mulai gelap ketika aku memacu kendaraan dengan agak lambat. Ternyata jalan belum semulus yang aku kira, hanya jejeran batu kali yang di timpa dengan batu kapur. Di kanan dan kiri jalan hanya ada jejeran pohon pinus. Ternyata yang di ceritakan oleh Bapak yang aku temui tadi benar, hutan lumayan sepi ditambah dengan gelap yang mulai menyergap. Timbul niat dalam hati untuk berbalik arah dan mengurungkan meniti jalan, tapi ... akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Benar-benar butuh konsentrasi tingkat tinggi, kondisi jalan yang lumyan menyiksa di tambah gelap yang pekat apalagi kabut yang entah dari mana datangnya, memaksa mataku untuk terbuka lebar.
Tiba-tiba saja hujan turun ... awalnya hanya gerimis kecil, tapi lama-lama lumayan membuat baju dan celanku basah. Padahal, belum saja setengah jam aku melintasi jalan ini ... mungkin baru sepuluh atau lima belas kilo meter.
Jalan yang menyiksa bertambah lengkap dengan air hujan yang bercampur dengan tanah. Roda motor sepertinya sudah tidak sanggup lagi berputar. Tanah liat yang memenuhi ban, memaksa aku harus turun dari motor dan mendorong tungganganku dengan sekuat tenaga.
“Sial!”
Desh! ... aku baru sadar jika hanya aku dan motorku yang ada di jalan ini. apalagi ketika mencoba mematikan mesin motor. Sepi! Benar-benar sepi!
Bulu kuduk berdiri, nyali yang tadi lumayan kuat sekarang mengendur seiring dengan suara serangga dan binatang hutan yang saling bersahutan.
Mataku terus mencari-cari, bila saja ada tempat berteduh atau mungkin rumah penduduk untuk menghabiskan malam dan beristirahat sejenak dari guyuran hujan. Ah, suatu hal yang tidak mungkin!
Samar-samar, mataku menangkap cahaya dikejauhan ... seperti cahaya lampu neon yang lumayan terang. Aku mempercepat langkah dan sekuat tenaga mendorong motor supaya segera sampai.
“Permisi ... “ kataku setelah sampai di depan rumah kecil, Bercat putih.
Lumayan lama menunggu. Motor yang aku parkir di bawah pohon pinus, terlihat sangat kotor. Aku mencoba mengetuk pintu. Setelah lama menunggu, akhirnya terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah dan tidak lama kemudian pintu pun terbuka.
Kreeeekkk ....
“Selamat malam, Pak ... maaf, saya sudah mengganggu. Mmm ... begini, Pak, saya mau minta izin buat berteduh,” kataku dengan agak menggigil menahan dingin.
“Oh ... silahkan, Dek ... masuk saja. Gak apa-apa kok, sok mangga ... silahkan masuk, di luar dingin.” Kata si bapak yang aku kira umurnya baru sekitar limapuluh tahun.
“Oh, haturnuhun, Pak. Biar, saya di luar saja berteduhnya ... yang penting saya gak kehujanan,” kataku dengan senyum yang dipaksakan karena kelu.
“Masuk saja, gak apa-apa.” Bapak itu tersenyum.
Akupun akhirnya masuk ke dalam rumah setelah terlebih dahulu membuka jaket dan sepatu yang penuh dengan lumpur. Bapak yang baik hati itu pun meninggalkan ruang tengah, tidak lama kemudian dia datang dengan perempuan setengah baya, menurutku sih dia istrinya. Cantik dan berambut panjang.
“Silahkan duduk, tidak apa basah juga bajunya ....” kata si bapak dengan suara yang ramah.
Si ibu cantik menyimpan air sirop hangat di atas meja.
“Minum dulu, Adek pasti kedinginan.” Si ibu duduk di samping suaminya, lalu tersenyum.
“Oh, terima kasih, Bu ... duh maaf saya jadi merepotkan,” kataku dengan sedikit malu.
Ujung mataku melihat jam tangan, pukul sebelas malam. Tapi kenapa jam yang terpajang di dinding rumah itu baru menunjukan pukul delapan malam? Aneh? Atau mungkin jamnya mati ....?
Aku menyeruput air sirup hangat yang dihidangkan di atas meja.
“Ups, kenapa rasanya tidak manis? Malah ... sedikit berbau amis?” batinku dalam hati.
Aku pun menyimpan kembali gelas di atas meja, dan ... astaga! Minuman itu ... sepertinya mirip darah! Tidak ... tidak mungkin! Aku membanting gelas dan mencoba berdiri. Tapi, kenapa ini?
“Heyyyy! Kenapa aku tidak bisa bangkit dari kursi ini? aku seperti terikat,” aku mulai berteriak.
Sekuat tenaga aku melepaskan diri. Sekuat itu juga badanku menempel di kursi.
“Tolongggggggggggg ....!” Tapi suaraku tidak keluar. Hanya parau dan ah ... kenapa ini?
Setelah berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga, akhirnya aku terbebas dari kursi sialan itu!
Lalu? Ke mana pasangan suami istri itu perginya? Bulukudukku berdiri. Aku berusaha mencari pintu keluar. Tapi kakiku seperti ada yang menarik, seperti menempel dengan tanah. Setelah aku melihat ke arah kaki, oh Tuhan ...! ada dua orang anak kecil sekitar usia dua atau tiga tahun menarik-narik kakiku, sorot matanya sangat tajam!
“Heyy ... heyy ... lepaskan, lepaskan!” tanganku menggapai-gapai pintu rumah. Tapi sia-sia! Tarikan kedua anak itu berhasil membuat aku limbung dan jatuh.
“Brak!” aku tersungkur.
Aneh, secepat kilat anak itu menghilang. Di mana anak-anak itu? Ke mana perginya mereka?
Aku mencoba bangkit dan berbalik arah, mencoba mencari jalan keluar lain ... tapi yang aneh, semakin aku berlari kencang mencari pintu lain untuk keluar, semakin sulit pula aku menemukan pintu. Sepertinya rumah ini hanya punya satu pintu masuk, tak ada pintu lain! “Sial!” batinku.
Keringatku mulai mengucur bersama dengan air hujan yang belum juga kering membasahi tubuhku. Nafas semakin berat. Menahan rasa takut dan tegang yang begitu memburu.
“Toloongggg ... Tolonggg ....” aku mencoba berteriak sekuat tenaga.
“Braaakkk!” tiba-tiba saja tembok yang ada di depanku runtuh. Debu yang menyelimuti ruang tempatku berdiri menciptakan dua sosok bayangan tinggi besar. Tidak lama kemudian, sosok bayang itu menampakkan wujudnya, dan ahhh .... “Tidakkkkk!” lagi-lagi aku berteriak dan mencoba berlari. Sosok bayangan itu ternyata adalah pasangan suami istri dengan wajah yang sangat menyeramkan! Wajahnya rusak parah seperti terbakar ... bukan ... bukan hanya wajah, tapi hampir seluruh tubuhnya rusak. Mengerikan! Matanya melotot keluar dan lidahnya menjulur,baju yang mereka kenakan menyatu dengan kulit yang kehitaman. Tangannya kaku. Aku berlari sekuat tenaga.
Ah, akhirnya aku menemukan pintu ... entahlah ini pintu menuju ke mana, yang pasti untuk sementara bisa untuk bersembunyi dari kejaran makhluk yang sangat mengerikan. Aku berusaha menahan pintu dengan mendorong meja. Berharap mereka tidak bisa masuk.
Nafasku tersengal. Dadaku berdetak kuat, sepertinya jantung ini mau lepas dari tempatnya.
“Ya Tuhan, permainan apa ini?” batinku dalam hati.
Belum juga reda detak jantungku, ketika tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya. Dua anak yang tadi menarik-narik kakiku sudah berdiri tepat di depanku. Dua anak perempuan yang cantik, sangat cantik. Berambut ikal, kulit putih dan hidung macung. Mereka tersenyum manis. Aku pun mencoba tersenyum, membalas senyum polos kedua anak itu. Dan ... ahhh tidakkkkk!
Lagi-lagi hal tidak terduga hadir di depanku! Tiba-tiba saja kedua anak cantik itu berubah menjadi wujud yang sangat menyeramkan, bola matanya berubah merah dan tubuhnya lambat laun hangus seperti kertas yang terbakar. Musnah begitu saja menjadi debu. Hanya bau anyir yang tersisa.
Sekuat tenaga aku memejamkan mata. Tidak kuasa lagi aku menerima kejutan-kejutan yang begitu di luar dugaan!
Tubuhku berubah kaku. Perlahan mataku terbuka begitu saja tanpa aku minta.
Di depan tempatku berdiri, tampak empat sosok, entah ini manusia atau apalah aku tidak tahu, tersenyum lembut.
Samar terdengar di daun telingaku suara lembut mendayu.
“Tolong kami ... tolong kamiiii ... kami ingin tenang ....“ tangan mereka mencoba meraih tubuhku.
Aku berusaha menghidar ... sekuat tenaga menghindari tatapan mata dan gapaian tangan mereka.
Aku takut!
Sangat takut!
Makin lama suara itu makin samar dan hilang begitu saja. Sama dengan kesadaranku yang sudah di uji di luar batas normal. Aku jatuh tak sadarkan diri.
“Mas, ... Mas ... bangun, sadar Mas ....” suara itu berusaha menyadarkanku.
Aku tersentak dan berusaha bangkit. Tapi tulang sendi serasa remuk. Samar aku lihat wajah ... sepertinya wajah si bapak yang aku temui sebelum melanjutkan perjalanan ke dalam hutan. Ya ... memang Bapak itu. Ada beberapa warga yang mengelilingiku. Mereka membawa alat penerang seperti obor dan senter. Aku terbaring lemas di teras rumah, yang sangat gelap dan kusam.
“Syukurlah Mas sudah sadarkan diri. Kami yakin, Mas sudah melewati pengalaman yang mengerikan. Sudah, sekarang Mas akan kami tandu menuju ke kampung kami.” Akhirnya ku pun di bawa dengan tandu. Sepanjang perjalanan, pikiranku dipenuhi berjuta pertanyaan. Di atas tandu, mataku menatap rumah yang telah berubah drastis. Seingatku, rumah itu resik dan rapi ... tapi, mengapa sekarang terlihat sangat kusam dan hangus seolah telah terbakar habis? Aku tak habis pikir.
Malam itu juga aku dibawa kerumah pak Lurah. Di sela istirahat menunggu pagi datang, pak Lurah bercerita tentang rumah di mana aku ditemukan tergeletak tak sadarkan diri.
Sesaat setelah aku memaksa untuk melanjutkan perjalanan sendirian ke dalam hutan, si bapak yang aku temui langsung melaporkan kepada ketua RT. Apalagi cuaca yang tidak mendukung, membuat si Bapak khawatir dengan keadaanku jika nanti terjebak di tengah hutan, hutan yang terdapat rumah tua angker. Dan benar saja! Kekhawatiran si Bapak terjawab sudah. Ternyata aku bukan orang pertama yang terjebak di rumah tua itu. Aku adalah korban yang kesekian!
Rumah itu adalah rumah tua yang sudah sangat lama tidak berpenghuni. Keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri dan dua anaknya hangus terbakar karena ulah perampok, puluhan tahun silam. Jasad mereka ditemukan telah hangus dengan kondisi yang sangat mengerikan. Yang menambah menyeramkan adalah, jasad ke empat manusia malang itu dikuburkan tepat di samping rumah mereka. Karena itulah mereka sering menampakkan diri kepada orang-orang asing yang terjebak di tengah hutan.
Bulu kudukku berdiri.
“Kasihan sekali mereka, meninggal dengan amat mengenaskan” batinku.
Bayangan wajah mereka terus menari-nari. Menyeramkan! Tapi mungkin akan lebih menyeramkan lagi jika harus membayangkan wajah teh Rika yang dengan marahnya akan menayakan “Mana kamera digitalnya?”
Ah ... tidak mungkin jika malam ini aku harus kembali ke rumah itu hanya untuk mengambil tas yang berisi kamera digital plus telepon genggamku. Suatu hal yang mustahil!
Aku berusaha memejamkan mata, dan mengusir semua bayangan keluarga malang yang mati sia-sia.
“Selamat malam, semoga kalian tenang di alam baka sana.”
Rdk-lewattengahmalam, 180916
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar