Apakah Ini yang Dinamakan Anomali?
Topik hangat yang saat ini mendengung di ruang guru beberapa hari ini sering menimbulkan sejuta pertanyaan di dalam diri kami, para guru. Topik apalagi kalau bukan disebabkan oleh ulah sebagian siswa yang seakan tidak membutuhkan adanya remidi atau perbaikan atas nilai mereka yang belum baik. Bahkan untuk melengkapi tugas-tugas maupun ulangan susulanpun seakan mereka tidak peduli.
Kondisi ini saya pandang sebagai sebuah anomali. Anomali sendiri menurut KBBI diartikan ketidaknormalan, penyimpangan dari normal, kelainan. Mungkin akan muncul pertanyaan dari sebagian pembaca, dimana sih letak ketidaknormalannya? Jawabannya sederhana sekali, dalam kasus ini seharusnya siswalah yang mencari guru untuk meminta perbaikan nilai maupun melengkapi tugas-tugasnya. Namun kenyataan justru gurulah yang pontang-panting mencari sang murid. Upaya menempel pengumuman di papan pengumuman termasuk menggunakan sosial media sebagai media penyampainnya, ternyata yang bersangkutan cuek bebek.
Hal ini terjadi pada siswa-siswa dengan kemampuan akademik yang rendah. Kadang muncul pertanyaan adakah ini salah satu bentuk ketidakmampuan mereka untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kurikulum. Sehingga kompensasi yang mereka lakukan lebih mengarah pada perilaku negatif. Termasuk di antaranya adalah tidak mengikuti arahan guru. Bahkan melakukan hal-hal yang justru bukan tugas utama mereka, seperti lebih suka duduk-duduk tanpa kegiatan yang jelas.
Hal berbeda terjadi pada siswa dengan kemampuan akademik rata-rata, dari mulai sedang hingga tinggi. Siswa dalam posisi ini sangat aktif dalam memantau hasil tes maupun kekuarangan tugas mereka dengan rajin menghubungi sang guru. Bahkan mereka rela menunggu sang guru hanya untuk mengetahui hal-hal apa yang harus mereka penuhi. Sungguh sebuah kondisi yang sangat berbeda.
Contoh dari dua perilaku di atas juga dapat dikategorikan sebagai satu lagi bentuk anomali. Dalam kondisi normal, seharusnya siswa yang memiliki kemampuan akademik kurang hendaknya aktif memantau dan memenuhi berbagai kekurangan yang dimilikinya. Sedangkan bagi yang mempunyai kemampuan akademik baik tidak perlu melakukan hal-hal seperti itu. Namun kenyataannya justru sebaliknya. Jika diibaratkan sebuah pisau, pisau yang sudah tajam rajin diasah oleh pemiliknya. Sedangkan pisau yang tumpul dan berkarat, justru dibiarkan tanpa perawatan. Alamak, gejala apa ini?
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Begitulah, Pak Agus. Di semua sekolah ada siswa semacam itu.
Ya begitu Pak. Akhirnya ya seperti main petak umpet. Sugeng enjing Pak.
kondisinya sama dengan di saya pak Agus. Saya membaca tulisan bapak seperti melihat cermin yang sama terjadi juga di sekolah tempat saya bertugas. Harus dipikirkan strategi jitunya pak supaya tidak membuka peluang itu bagi siswa. Sehat, bahagia, dan sukses selalu buat Pak Agus Siswanto. Barakallah
Ya memang kondisi umum saat ini mas Mulya.
Guru terkadang harus jemput bola
Tulisan yang bagus... Setuju pak, karakter anak zaman sekarang telah membuat guru-guru kerepotan. Padahal apa yang dilakukan guru demi kebaikan siswa. OMG..kita kudu banyak sabar ya pak... Sukses dan salam kenal
Nampaknya ini fenomena umum Bu. Terima kasih telah berkunjung ke lapak saya. Sehat dan sukse selalu Bu