Buah Dewandaru Pertama
Mojokerto, Jumat, 10 Juli 2020
Ketika mencari data pembanding dan konfirmasi, saya sempat terkejut membaca artikel tentang Dewandaru dari portal berita online yang sebenarnya cukup populer, t**news, yang mengatakan bahwa pohon itu hanya bisa tumbuh dan berkembang di Karimun Jawa. Mungkin dia belum terlalu jauh ngopinya, begitu dugaan saya. Kalau dia pernah tahu tentang Gunung Kawi yang merupakan sebuah gunung berapi yang berada di Kabupaten Malang, Jawa Timur, penulis artikel itu mestinya merevisi tulisannya. Gunung Kawi yang memiliki ketinggian sekitar 2.551 m ini identik dengan mitos orang yang memburu klenik hingga pesugihan, padahal sejatinya pemandangannya sungguh indah.
Saya suatu waktu, agak lupa tahunnya – mungkin tahun 2018 – pernah mengikuti ajakan Sinyo yang teman di sekolahnya ingin wisata ke gunung itu. Beruntunglah saya akhirnya bisa nunut gratisan dan ikutu rombongan tersebut. Di area gunung tersebut banyak digunakan orang untuk ziarah. Tampak juga peziarah itu tampak dari berbagai daerah dan lintas agama. Bukan dominan agama tertentu. Saya juga mencoba mengikuti alurnya. Cukup lama juga rombongan itu baru turun dan pulang kembali.
Beberapa kisah terkait gunung itu bergulir antara mereka. Mungkin setelah mendapat berbagai masukan dari berbagai orang setempat yang siapa pun bisa bercerita. Tentang gunung dengan segala kisah yang menyelimutinya.
Dalam jalan pulang saya sempat minat dan tertarik dengan sebuah lapak kecil yang menggelar dagangan berbagai pernik yang saya suka. Uang koin berbagai model dan ragam uang kertas, juga barang yang berhubungan dengan kepercayaan tentang keris. Alangkah menyesal saya ketika diajak namun dompet tidak kompromi. Siapa yang tahu bahwa akan bertemu dengan lapak yang begitu menggiurkan buat penggemar numismatik ini. Saya hanya menelan ludah. Tidak berani teralu mendekati karena takut malah kemecer, kepingin makin akut. Sesaat hanya saya coba menikmati dengan curi-curi pandang pada dagangan menggemaskan itu. Saya perlahan menggeser kaki menuju bus.
Di kanan-kiri ruas jalan itu berbagai lapak memajang tanaman Dewandaru. Ini juga saya tidak berani membuka percakapan. Para penjual menjajakan dagangannya dengan semangat, padahal di depan pohon yang dipajang itu sudah dipampang harganya. Mulai dari yang seharga antara Rp. 50 rb hingga Rp. 100 rb. Tergantung pada kemasan, besar kecil dan rupa pohonnya. Pohon itu dipajang secara menarik. Panjang pohonnya sebenarnya hanya tak lebih dari 20 cm dengan bungkus pot yang terbuat dari potongan bumbung (ruas bambu). Hiasan buah “dipasangkan” pada dahan pohon itu menunjukkan seolah pohon yang dijual itu sudah berbuah, padahal hanya tempelan sebagai penarik minat.
Dewandaru dikenal dengan Ceremai Belanda (Surinam Cherry) atau nama ilmiahnya (Eugenia uniflora). Kata “dewandaru” sendiri konon dalam bahasa Jawa berarti “pembawa pesan dari para dewa”. Pohon ini banyak ditemukan di Jawa (tidak hanya di Karimun Jawa saja), Sumatera, dan pulau-pulau kecil di sekitar. Dewandaru merupakan tanaman dari famili Myrtaceae dan konon berasal dari wilayah pantai timur Amerika Selatan yang beriklim tropis. Selain itu juga tersebar di berbagai area: Suriname, Guyana Prancis, Brasil selatan, sebagian dari Paraguay, Argentina, Uruguay, dan negara-negara di wilayah Karibia. Lebih jauh, Dewandaru juga dikenal dengan nama; pitanga, Brazilian cherry, cayenne cherry, atau cerisier carré.
Sembari terus perlahan jalan menuju bus, saya bergeming tak ada minat buat membeli. Sementara para penjaja itu terus merecoki buat menawarkan dagangannya. Saya hanya melihat-lihat sambil mengantar teman Sinyo yang terlibat dalam tawar-menawar.
“Ditawar saja, pak.” pintanya
“Maaf, saya tidak membawa duit.” jawab saya seenaknya.
“Mosok, jauh-jauh kesini tidak membawa uang.” dia terus
“Tapi bukan buat beli pohon, bu”
“Sudahlah, tawar saja, pak.”
“Mboten bu, maaf. Kan sudah banyak tuh teman saya yang beli”
“Tapi kan bapak belum. Sudahlah tawar saja.”
“Sepuluh ribu.”
“Loh. Tadi teman anda saja empat puluh ribuan.”
“Maaf, bu.”
Saya pun meneruskah langkah. Tapi tiba-tiba dipanggil ibu tadi.
“Monggo, pak. Sini.”
Waduh. Saya akhirnya ketahuan kalau hanya membawa tiga lembar sepuluh ribuan. Akhirnya transaksi berlangsung. Saya dapat satu pohon dengan senilai sepuluh ribu.
“Tolong jangan kasih tahu teman sampean, Pak.”
“Mboten, bu.”
Di bus, mulai riuh dengan teman-teman saling membandingkan hasil belanjanya. Beberapa membuang pohon yang baru dibelinya. Dia menganggap ditipu dengan penjual tadi karena ternyata buah yang ada pada pohon itu hanya tempelan semata. Ketika pohon itu dicerabut, tak ada akar pada bagian bawahnya. Banyak orang yang kecewa. Saya tiba-tiba dikasih teman Sinyo.
“Loh, kan mahal, Pak.” kata saya.
“Sudahlah. Kan, sampean suka berkebun”
Saya tahu dia tadi beli empat pohon. Tidak tahu berapa rupiah. Mereka tidak percaya ketika saya terpaksa membocorkan harga yang saya dapat. Sinyo hanya mesem.
Di rumah, setelah sekian purnama, pohon ini membesar. Alhamdulillah, hasil rawat saya dibalas dengan keluarnya buah pertama. Semoga diikuti buah berikutnya. Dari tiga pohon, yang paling besar memang hasil beli saya sendiri dengan harga yang paling mahal tadi. Tingginya mungkin empat meter kalau tidak melengkung. Sementara dua pohon yang pemberian teman masih belum satu meter.
Apapun, ternyata selain buahnya, daunnya pun punya khasiat. Saya belum percaya terhadap mitos dan klenik tentang pohon ini selain manfaat dalam hal panasea. Itu saja.
Jadi ingin kembali ke Gunung Kawi itu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar