SEKOLAH/MADRASAH RAMAH ANAK: KEMBALI KE KHITTAH
Frasa “ramah anak” santer terdengar bergaung ke seluruh negeri ini. Menyusul banyaknya pemberitaan tentang kekerasan terhadap anak. Utamanya ketika menyoroti kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan, yaitu sekolah atau madrasah.
Maraknya tindak kekerasan dalam lingkungan pendidikan memunculkan wacana sekolah/madrasah ramah anak. Ini diharapkan mampu mencegah kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan. Dengan demikian lembaga pendidikan bisa kembali ke khittahnya sebagai tempat proses memanusiakan manusia.
Wacana sekolah/madrasah ramah anak (S/M-RA) menjadi hal yang sangat mendesak pelaksanaannya mengingat kasus demi kasus yang terjadi semakin banyak. Data yang dikeluarkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada laman resminya www.kpai.go.id menunjukkan angka 4.376 (9,8%) dari keseluruhan kasus yang terpantau dimedia seluruh Indonesia pada tahun 2016. Angka yang sangat tinggi mengingat lembaga pendidikan adalah tempat di mana anak mendapat hak pendidikan untuk keperluan perkembanganya.
Diketahui bahwa kasus tersebut terjadi karena perbuatan guru terhadap siswa maupun oleh siswa terhadap siswa yang lainnya. Tindak kekerasan tersebut banyak dalam bentuk fisik dan tak jarang berujung ke kasus hukum. Biasanya, kekerasan terjadi dalam bentuk hukuman yang tidak mendidik dari guru. Sedangkan kekerasan oleh sesama siswa terjadi ketika perploncoan saat tahun ajaran baru.
Mewujudkan S/M-RA mempunyai dasar hukum yang kuat berupa undang-undang yakni, UU No. 35 tahun 2014 atas perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satu pasal dalam UU tersebut yaitu pada pasal 9 ayat 1 menyatakan “setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”. Dengan demikian menjadi terang bagaimana fungsi sekolah/madrasah dalam mengayomi peserta didik yang ada di dalamnya.
Tidak hanya menjamin pencegahan tindak kekerasan terhadap anak, namun S/M-RA juga harus menjamin hak-hak anak lainnya. Hak-hak tersebut di antaranya adalah dijamin pendidikannya dalam rangka proses perkembangan pribadinya dan kecerdasannya sesuai dengan bakat dan minat. Seperti yang telah diatur dalam UU No. 35 tahun 2014 pasal 1.
Merujuk pada UU tersebut di atas, maka lembaga pendidikan harus bisa menyelenggarakan pendidikan yang berpihak pada pemenuhan hak anak. Dalam pelaksanaannya sekolah/madrasah tetap mengacu kepada 8 standar pendidikan yang ada. Sehingga sekolah/madrasah dalam penyusunan kurikulum yang akan diterapkan pada tiap tahunnya selalu mengacu dan mempertimbangkan hak-hak anak. Semua hal tersebut dicantumkan dalam Dokumen Kurikulum yang wajib disusun oleh sekolah/madrasah.
Unsur-unsur pemenuhan hak atas anak dalam pelaksanaan kurikulm dapat diatur berdasarkan masing-masing standar pendidikan yang ada. Pertama, dalam isi kurikulum, dimuat kerangka dasar dan muatan kurikulum dengan konsep perlindungan anak. Beban belajar serta kalender pendidikan mempertimbangkan hak dan kepentingan bagi anak sebagai peserta didik. Belajar bukan berarti harus merampas hak-hak anak selain pendidikan, misalnya bermain dan pengembangan bakat serta minat.
Kedua, proses pelaksanaan kurikulm menjadi sangat penting dalam mewujudkan S.M-RA. Sekolah/madrasah harus menjalankan proses pembelajaran yang sesuai dengan karakter anak yaitu bermain. Guru sebagai fasilitator di dalam kelas harus menerapkan metode atau model pembelajaran yang menyenangkan. Dalam perkembangan model pembelajaran dewasa ini dikenal dengan Model Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan menyenangkan (PAIKEM).
Ketiga, menerapkan standar yang menjadi bagian dari syarat kelulusan yang tidak hanya mengacu pada nilai kognitif yang berupa angka saja. Sekolah/madrasah perlu menyusun lebih rinci standar tersebut berdasarkan konsep budi pekerti atau karakter yang ada dalam Kompetensi Inti (KI) pada tiap mata pelajaran. Sehingga tersusun standar kelulusan yang mengcau pada pencegahan tindakan kekerasan oleh anak serta meningkatkan pengamalan budi pekerti luhur di lembaga pendidikan.
Keempat, sarana dan prasarana tidak kalah penting dalam mendukung mewujudkan S/M-RA. Lembaga pendidikan mengupayakan sarana dan prasarana dapat mendukung proses menciptakan S/M-RA. Kondisi lingkungan disesuaikan dengan dunia anak dengan tersedianya fasilitas bermain dan olah raga. Alat-alat permainan dan olah raga ini tentunya tetap mengacu kepada tujuan pendidikan bagi anak. Perpustakaan dan/atau koleksi buku disesuaikan untuk mendukung proses pembelajaran yang mengacu pada Model PAIKEM.
Kelima, guru yang termasuk dalam salah satu standar pendidikan juga memiliki peran yang sangat penting dalam S/M-RA. Bagaimana tidak, guru adalah penggerak dari keseluruhan konsep yang ada dalam Kurikulum yang akan diterapkan. Oleh karena itu, sangat penting guru memahami tugasnya yang sudah diatur dalam tugas pokok dan fungsinya. Kemampuan pedagogy harus dikuasai dengan baik agar faham tentang perkembangan peserta didik. Dengan demikian tidak ada lagi kasus kekerasan yang melibatkan guru seperti yang banyak diberitakan oleh media.
Selain lima hal di atas, lembaga pendidikan juga bisa melakukan kerja sama dengan pihak terkait. Kerja sama dilakukan agar program yang dijalankan bisa optimal dan berterima oleh warga sekolah/madrasah serta masyarakat luas, utamanya wali murid. Pihak yang dapat diajak kerja sama adalah dinas di daerah yang menangani perlindungan anak, dalam beberapa daerah biasanya tergabung dalam Dinas yang menangani Perempuan dan Keluarga Berencana. Selain itu juga ada Lembaga Perlindungan Anak di tiap-tiap daerah Kabupaten maupun Provinsi sebagai perpanjangan tangan KPAI. Kerja sama bisa dilakukan dalam hal pembinaan dan sosialisasi terhadap warga sekolah/madrasah maupun wali murid serta masyarakat secara luas.
Pada intinya dalam mewujudkan S/M-RA bukan berarti sekolah/madrasah akan merasa terbebani oleh syarat-syarat khusus yang melekat dengan istilah ramah anak. Namun lebih kepada bagaimana merancang apa yang sudah ada di dalam kurikulum sekolah/madrasah itu sendiri. Tentunya dengan lebih mempertegas ide pemenuhan hak atas anak tanpa harus ada kurikulm khusus yang bisa memberatkan baik secara materi maupun muatan kurikulum. Sehingga tidak ada alasan untuk sekolah/madrasah tidak ramah anak.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Saya sepakat bahwa, "lembaga pendidikan harus bisa menyelenggarakan pendidikan yang berpihak pada pemenuhan hak anak dangan unsur pemenuhan hak atas anak dalam pelaksanaan kurikulumnya." Top Pak Agus.
Thanks Kang Yudha
Terimakasih bu, sdh mau brbagi...
Terimakasih Pak Agus , sdh mau brbagi...
Sama-sama Bu
Mendidik dengan hati. Mendewasakan peserta didik menjadi insan beradab. Dan bertanggung jawab pada dirinya. Salam .
Salam Pak Wiyono