Ade Prima Hendra

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
SETELAH 20 TAHUN BERLALU
Jembatan Ratapan Ibu: saksi sejarah kedzoliman belanda

SETELAH 20 TAHUN BERLALU

Pagi menjelang siang itu cahaya mentari terasa menyengat kulit, dicaliak aia tabu menyapa begitu akrab, saraso malambai-lambaikan tangan seakan kami sudah kenal begitu akrab.

Tapi sengaja tak ambo sampaikan ka Apa (Panggilan sayang saya kepada sosok ayah). Karena tadi sebelum berangkat ka pasa kabau, saya merengek minta babendi-bendi dari simpang toko ameh Asia (baca: Depan Sianok) ke pasa ibuah, dan alhamdulillah beliau kabulkan.

Setiap permintaan kami waktu itu selalu beliau barengi dengan syarat-syarat tertentu, syarat sapu jagad dari beliau adalah "asa jan banyak enjoang".

Dengan tersenyum saya anggukkan pertanda menyanggupi yang beliau maksud, mesti dalam hati saya menganggap barek na syaratnyo pa, hhee.

Setelah selesai beraqad dengan toke, kami beranjak meninggalkan pasa taranak yang kini sudah menjelma menjadi bangunan megah tempat meyemai benih peradaban yang kita kenal SMAN 4 Payakumbuh, dengan berjalan kaki tentunya.

"Pa..., tu kabau yang babali cako baa dek batinggakan di situ pak?" tanya saya memulai pembicaraan, tu ado urang nan maantaan pulang biko nak, wak tingga bayia upa sajo k tukang elo.

Bangunan demi bangunan kami lewati mulai dari Telkom yang menaranya menjulang tinggi hingga berjalan diatas rel sampai Stasiun kereta yang di sana tertulis "Padjakomboeh". Sampai ini beliau bilang, apa jo kawan-kawan waktu kecil kalau dengar kereta mau lewat buru-buru meletakkan paku di atas rel. Nantinya paku itu akan menjelma menjadi pisau yang bisa dimanfaatkan di rumah dek uwo, terang beliau yang kini rambutnya tak lagi hitam.

Tak lama berselang sampailah di simpang kasda, beliau menunjuk tu studio poto punyo anak atuak ade tu, anak tuak Badan (maksud beliau Mendiang pak Oyong) nan di kelok, tuannyo bu Kani sebut beliau.

Kami terus melanjutkan perjalanan, sembari menunjuk uwo kalau ka pasa makan di siko RM Asia Baru. Pernah sekali apa bawa ke rumah makan si***, beliau bilang ka ruma makan cino umi ang bao makan sua,hhee. Tak lama sampailah di bawah jembatan panasonik, artinya tempat menaiki bendi tinggal hitungan langkah saja.

Alhamdulillah ada bendi yang kosong, dan saya memilih duduk di samping pak kusir yang tengah mengatur lajunya bendi.

Sampainya di jembatan ratapan ibu beliau bercerita di sini dulu anak muda pejuang yang dijumpai belanda setelah ditangkapi diberdirikan di tepi jembatan dan satu persatu ditembak, mayatnya dibiarkan jatuh begitu saja di batang Agam.

Lihatlah telunjuk patung ibu itu, melambangkan para ibu yang tengah menunjuk mayat-mayat anak mereka hanyut dan mengapung di batang agam, kata orang-orang tua sekitar nunang dan ibuah kalau lah ada badia nan babunyi, itu artinya 1 nyawa sudah melayang dan jatuh di batang agam, na'udzubillah. Begitulah penderitaan urang tuo-tuo kito maso balando. Banyak-banyaklah bersyukur.

Lain cerita 20 Tahun kemudian, buah hati kami, kalau mau lewat jembatan ini, bilang "bi lihat lampunya, cantik ya bi". Memanglah setiap masa punya ceritanya dan setiap cerita ada masanya.

Nostalgia masa silam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Fokus ke bendi. Sampai sekarang, saya baru sekali naik bendi, waktu KKN jaman kuliah dulu, seruuu..... sukses bu

29 Jan
Balas



search

New Post