Ade Kurniawati

Seorang guru BK yang ingin selalu menulis. Karena dengan tulisan, saya menjadi ingat kejadian yang telah dialami....

Selengkapnya
Navigasi Web
Lukisan Ibu (Bagian 2)
Gambar diambil dari https://www.google.com/

Lukisan Ibu (Bagian 2)

Tagur ke-101

Sudah hampir satu jam Kayang memikirkan hal yang paling menarik untuk dilukis. Namun, dia belum juga mendapatkan ide. Akhirnya, Kayang beristirahat. Dia tertidur di kasur yang sejak kecil menemaninya.

Suatu pagi yang cerah, Kayang akan berjalan-jalan pagi mengelilingi jalan desa. Dia berharap setelah itu dia bisa melukis dengan karya yang unik. Sebelum pergi, Kayang sarapan dengan nenek.

“Yang, Nenek sudah menitipkan suratmu kemarin kepada Pak Fendi. Beliau mau ke pusat kabupaten hari ini. Mudah-mudahan suratmu segera diterima oleh Yanda, Bunda, dan kedua Kakakmu,” ujar Nenek.

Sayang, Kayang terlanjur bermenung. Dia tak mendengarkan apa yang telah diucapkan neneknya. Nenek pun heran. Mengapa bisa Kayang bermenung sambil mengunyah makanan? Pikir Nenek.

“Hai, Kayang Tri Retno. Dengar nggak Nenek bicara?” tanya nenek.

“Eh, ya Nek. Maaf, Nek. Nenek bilang apa tadi?” tanya Kayang.

“Hmm… Belum masuk kuliah, sudah banyak bermenung, Yang. Makan saja dulu, ya,” ajak Nenek.

Kayang mengangguk. Selepas sarapan, Kayang minta izin kepada nenek. Kayang pun mulai menyusuri jalan desa yang memang masih asri. Setiap rumah ada pagar yang terbuat dari tanaman hijau. Ada juga pohon-pohon besar tumbuh. Semuanya tampak subur. Ada pohon jambu biji Bu Hera yang berbuah lebat. Seketika, Kayang berhenti. Pandangannya bukan tertuju kepada pohon jambu biji yang berbuah itu, melainkan kepada seseorang.

Seseorang yang dilihat Kayang berbaju agak lusuh. Wanita itu seperti sudah lama tidak tidur. Sebab, nampak dari raut wajahnya yang lelah. Di bawah kelopak matanya pun nampak sudah menghitam. Wajah wanita separuh baya itu dilihat secara fokus oleh Kayang. Dia juga memperhatikan keriput di kulit sudut mata wanita itu. Ada hal yang terlintas dalam pikiran Kayang.

Pandangan Kayang mulai beralih ke tubuh wanita itu. Tanpa sengaja, wanita itu menjatuhkan sebuah bingkai yang ada gambarnya. Foto siapakah itu? Entahlah. Kayang hanya menyaksikan dengan saksama. Wanita itu tampak mulai mengeluarkan bulir bening dari kedua matanya. Dia menangis sambil memeluk erat figura foto yang tadi terjatuh. Dia begitu sedih.

“Hai, kamu siapa?” tanya Bu Hera.

Rupanya Bu Hera juga terusik dengan suara jatuhnya figura foto wanita yang sedang bersedih itu. Sebab, sewaktu Kayang lewat, Bu Hera tidak berada di luar rumah. Bahkan, pintu rumah Bu Hera masih tertutup.

“Saya Kayang, Bu. Cucunya Bu Ratih, Bu,” jawab Kayang.

“Oh, Kayang, ya? Kamu yang lulus di jurusan seni rupa, bukan?” tanya Bu Hera.

“Iya, Bu,” jawab Kayang.

“Saya adalah teman pengajian Bu Ratih. Kamu hebat, ya. Belum ada pelukis wanita dari desa kita. Ibu salut sama kamu,” ungkap Bu Hera.

“Alhamdulillah. Terima kasih, Bu,” ujar Kayang tersipu malu.

“Bu, siapa Ibu-ibu itu, Bu?” Kayang mulai penasaran dan bertanya kepada Bu Hera.

Bersambung.

Sumpur Kudus, 16 Desember 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post