Abd. Karim Tahir

Tinggal di Gowa - Sulawesi Selatan. Guru IPS SMP Negeri 1 Parangloe Kab. Gowa dan Ketua Pusat Belajar Guru (PBG) Gowa....

Selengkapnya
Navigasi Web

Tiga Alasan Mengapa Pemilihan Langsung Sebaiknya Dihentikan

Gerakan Reformasi melahirkan perubahan terhadap sistem ketatanegaraan kita, sebagai koreksi total terhadap sistem Orde Baru yang tidak demokratis. Maka atas nama demokrasi, rakyat dilibatkan secara langsung untuk memilih pemimpinnya. Mulai dari Bupati hingga Presiden. Hal ini merupakan keniscayaan dalam sistem demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan, katanya. Rakyatpun dimobilisasi setiap pemilu dan pemilukada yang sambung menyambung seolah tiada putusnya.

Harapannya jika pemimpin yang terpilih adalah kehendak rakyat maka sang pemimpin akan mengerti persoalan-persoalan rakyat, paham akan kehendak rakyat dan akan berjuang untuk kepentingan rakyat. Pendek kata, demokratisasi melalui pemilihan langsung akan mendekatkan rakyat pada kesejahteraan dan kemajuan yang dicita-citakan. Namun faktanya. Dari rentetan pelaksanaan pemilu maupun pemilukada, kesejahteraan yang diidamkan tak kunjung datang. Justru penghianatan demi penghianatan terhadap amanah rakyat terus saja terjadi seiring dengan euforia demokrasi. Kepala Daerah yang mendekam di tahanan KPK karena kasus korupsi terus bertambah dari tahun ke tahun. Belum termasuk pejabat-pejabat lain baik di level pusat maupun daerah. Lalu haruskah pemilihan langsung dipertahankan? Penulis berpendapat bahwa sudah saatnya pemilihan langsung dihentikan. Berikut adalah tiga alasan yang bisa dikemukakan.

1. Membeli kucing dalam karung

Sepulang dari TPS seorang seorang kakek ditanya sama cucunya, "Kakek pilih siapa? Ah tidak tahu, tidak ada yang saya kenal," Jadi gimana kek? "Saya asal tusuk saja, yang penting tusuk. Selesai, hehe." Di TPS juga kelihatan begitu banyak orang kebingungan dengan daftar panjang nama-nama yang tertera dalam kartu suara. Banyak di antaranya yang keluar dari bilik suara dengan menyisakan wajah bingung. Pemilihan langsung bisa membuat rakyat memilih asal memilih alias membeli kucing dalam karung. Terutama di kampung-kampung terpencil yang kesulitan mengakses informasi. Atau karena pengetahuan terbatas. Bisa dipastikan mereka tidak mengenal dengan detil kontestan pemilu. Sebagian mungkin mengenal wajah dari baliho-baliho yang terpajang di banyak sudut jalan. Tetapi bagaimana track record seorang calon? Bagaimana kemampuan dan kepribadian mereka? Kemungkinan di beberapa tempat masyarakat tidak memiliki referensi yang cukup. Akhirnya mereka akan memilih sesuai dengan "anjuran" orang-orang yang dianggapnya berpengaruh. Memilih bukan dengan hati nurani tetapi sesuai instruksi. Dalam situasi seperti ini suara rakyat akan dengan mudah dipermainkan. Jadi slogan bahwa biar rakyat menentukan pemimpinnya, tidak benar.

2. Biaya tinggi

Untuk penyelenggaraan Pemilu tahun 2019 pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp. 25,59 Triliun. Naik 61% dari anggaran Pemilu tahun 2014 yang dianggarkan sebesar 15,62 triliun. Selain itu dianggarkan pula untuk pengawasan sebesar Rp. 4,85 triliun dan anggaran keamanan sebesar Rp. 3,29 triliun.

Dana sebesar ini belum termasuk yang dikeluarkan oleh setiap calon yang jika dijumlahkan akan lebih besar lagi. Seorang Anggota Dewan pernah mengakui bahwa dia pernah ditawari untuk diajukan sebagai calon Wakil Gubernur di suatu provinsi dengan syarat menyiapkan uang sebesar Rp. 50 miliyar. Ini baru uang mahar untuk satu partai pengusung. Bagaimana dengan calon yang diusung oleh lebih dari satu partai? Bagaimana pula dengan biaya kampanye dengan berbagai alat peraganya?

Demokrasi berbiaya tinggi merupakan salah satu penyebab suburnya korupsi di Indonesia. Reformasi yang agenda utamanya adalah memerangi prilaku korup justru melahirkan korupsi yang gila-gilaan. Semakin diberantas semakin tumbuh, seperti kata pepatah, “Mati satu tumbuh seribu. Patah tumbuh, hilang berganti.”

3. Disintegrasi bangsa

Trend yang cukup meresahkan seiring dengan pelaksanaan pemilihan langsung adalah terjadinya perpecahan (disintegrasi) bangsa. Masyarakat terpecah berdasarkan pilihan politiknya. Benturan antar kelompok pendukung calon kerap terjadi, mengakibatkan kerugian harta benda maupun jiwa. Kehidupan harmonis perlahan redup diganti dengan saling mencurigai. Para elit hanya sibuk mengurusi politik, mengatur siasat untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaan. Untuk itu tidak jarang menghalalkan segala cara termasuk mengorbankan keutuhan bangsa. Lalu bagaimana seharusnya? Demokrasi adalah sistem yang kita caplok dari Barat pemuja kebebasan yang nyaris tanpa batas. Tentu tidak cocok untuk negeri kita yang masih terikat dengan nilai-nilai luhur bangsa. Dalam menyelesaikan masalah bangsa kita terbiasa dengan musyawarah untuk mufakat sebagaimana yang disebutkan pada sila ke empat Pancasila. Maka sebaiknya dalam menentukan pemimpin kita kembali ke azas musyawarah. Bukan dilelang kepada semua orang yang kebanyakan tidak mengerti siapa dan bagaimana orang yang dipilihnya.

Dengan cara musyawarah, pemimpin yang terpilih bisa lebih kompeten karena dipilih oleh orang-orang yang mumpuni, ahli dan kredibel dalam sebuah permusayawaratan. Selain itu, dengan cara musyawarah anggaran bisa dihemat dan bisa meminimalisir terjadinya disintegrasi bangsa.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ulasan yang mantap Pak...Saya sangat setuju sekali....

08:12
Balas

Terima kasih bu Rini Yulianti..

09:09



search

New Post