Cinta Illahi
Tidak ada kehidupan yang sempurna didunia, Sang pencipta menitipkan kehidupan sebagai ujian. Nikmat usia yang semestinya kita gunakan untuk mencari amal kebaikan, sebagai bekal menuju kehidupan yang abadi diakhirat kelak.
Ayah mengajarkan ku untuk ikhlas dalam segala hal, ia adalah malaikat yang Allah kirimkan dalam hidup ini untuk menjadi pendidik terbaik. Ayah ku seorang petani, tetapi bukan petani yang memiliki sawah sendiri, namun ayahku hanya menjadi penggarap kuli disawah majikannya.
Usia tua telah ayah temui, tulang belulangnya menjadi rapuh demi mengantarkanku menjadi sedewasa ini. Memberiku makan, minum, pakaian, pendidikan dan kebutuhan lainnya dari hasil jerih payahnya melawan kerasnya kehidupan.
Namaku Haifa Hasna, orang-orang biasanya memanggilku “Hai”. Aku seorang anak yang hidup dalam keluarga sederhana, tetapi keterbatasan ekonomi tak membuatku jera untuk membumikan mimpi-mimpiku yang telah kulangitkan lewat do’a.
Aku bersama ayah hidup berdua dalam rumah berbatu dengan lantai tanah, inilah salah satu semangatku untuk terus bekerja keras namun kala itu profesiku hanya seorang Guru taman kanak-kanak, tetapi tak kehilangan harapan dengan ini aku dapat mengangkat derajat orang tuaku. Ya orang mengenalku sebagai seorang guru anak bapak ini rumahnya disini, Allah terimakasih telah membawa nama ayahku.
Kerasnya hidup kadang kala aku selalu berfikir untuk terlepas dari belenggu hidup ini, ekonomi yang selalu inginku perbaiki agar memberikan kehidupan yang lebih baik bagi ayah. Sampai disuatu ketika aku begitu sakit perih dan sedih, sampai akhirnya aku memutuskan untuk resign mengajar dan berkecimpung dalam dunia perindustrian.
“Nak, apa nggak lebih baik kamu kerja PT” Ucap Ayah
Aku masih mengingat dan memang sejak lulus sekolah SMA ayah ingin sekali aku bekerja di PT, namun keras sekali aku selalu bertahan menjadi seorang Guru taman kanak-kanak disisi lain itu adalah cita-citaku.
Kian hari perkataan itu semakin menghantui, karena aku tipe orang yang baperan. Hingga pada akhirnya Ayah jatuh sakit aku berfikir sudah dewasa tetapi belum mampu membiayai ayah berobat sepedikitpun semua yang membiaya adalah kakakku.
Ragu yakin kadang menjadi dilema selama kurang lebih satu minggu, belum lagi hati begitu sakit ketika melihat anak-anak manis yang berada didepanku sedang menulis akan beralih kepada orang lain. Mereka adalah anak-anak pintar yang menyayangiku dan menjadi penghiburku.
Wali murid tercinta salah satu alasanku bertahan karena mereka aku mampu menjadi seperti ini, mampu berproses dan mendapat banyak pengalaman. Kepercayaan yang mereka berikan membuatku sedikit percaya diri.
Suasana sekolah hampir satu minngu ini sangat ramai karena ada beberapa gurumagang, hingga sekolah menjadi ramai. Aku dan beberapa guru magang sudah dekat karena kita saling mengenal sedikit satu sama lain, pernah ku katakan kepada mereka aku ingin resign tampak wajah sedih terlihat diraut mereka.
“Ibu masa keluar dih,” Kata salah satu Guru magang
Ketiga guru magang memelukku erat, Allah walaupun perjumpaan ini hanya Sementara tetapi rasanya aku begitu menyayangi mereka bahkan sudah sepereti adikku sendiri, karena memang usia mereka lebih muda dari aku.
Malam hari, dengan penuh keberanian aku mengirimkan pesan singkat lewat WhatApps kepada kepala sekolah tempatku mengajar. Pesan yang kirim meminta ingin besok dapat berbicara empat mata, untuk menyampaikan maksudku.
Semakin malam semakin sakit rasanya hati lagi-lagi bayang bayang anak-anak yang menjadi keraguan, sakit rasanya melihat mereka berpaling kepada guru lain. Sakit rasanya melihat mereka tertawa bercerita bersama guru lain.
Keputusan yang sudah bulat ku niatkan untuk segera ku sampaikan kepada kepala sekolah, semoga yang terbaik selalu menyertai semua aku anak muridku dan kehidupan kita kedepannya.
“Bu saya mau berbicara sama ibu,” Ucapku sambil tersenyum
“Bu hai mau ngomong apa si ni?” Tanya kepala sekolah
“Dengan maksud berbicara kepada ibu, saya ingin menyampaikan. Bu saya ingin resign dari sekolah ini, terimakasih atas segala kebaikan ibu sudah memberi saya kesempatan gabung disekolah ini” Kataku sambil menahan air mata yang sudah menggenang dikelopak mata.
“Bu hai beneran? Kenapa bu hai ada apa, sudah disini aja nggak usah keluar ya,” Pinta kepala sekolah.
Panjang perbincangan kita berdua aku dengan keputusan tetapku demi Ayah dan Ayah pahlawan yang harusku bahagiakan hidupnya, semoga Allah memberikan kemudahan untukku.
Untuk keluar dari tempat mengajar aku harus menunggu beberapa bulan, karena sekolah harus mencari guru baru untuk menggantikanku. Satu persatu kandidat guru baru datang membawa amplop coklat melamar kesekolah.
Beberapa itu menjadi bulan-bulanan luka dalam hati ini, beberapa diatara mereka sudah mulai magang bersamaku dikelas, sedikit kulepas anak-anak bersamanya begitu sakit rasanya mereka sudah dekat dengan penggantiku.
“Bu hai beneran mau keluar?” Tanya wali murid
Begitu sampai kabar berita itu kepada wali murid mungkin telah membuat mereka penasaran kadang bertanya kepadaku, Allah aku sangat menyayangi ibu dari anak-anak muridku. Orang tua yang dengan ikhlas memberiku kasih sayang dan kepercayaan kepadaku.
“Iya mah, insya Allah” Jawabku
Waktu mendekati hari perpisahan lima bulan lebih aku menunggu guru baru ditetapkan sebagai pengganti, melalui hari tak mudah penuh kesedihan. Hingga pada akhirnya aku benar-benar keluar dari sekolah.
moment indah dihari ulang tahunku bersama wali murid tercinta yang memberiku surprise. Itu membuatku sesak atas keputusan ini, tetapi aku harus kuat untuk mempertanggung jawabkan segala pilihanku.
Hari dimana aku sudah berganti profesi, kini aku adalah seorang pegai pabrik borongan. Ayah sangat bahagia melihat aku bekerja di PT, namun kesedihan menjadi bulan bulananku karena ia jatuh sakit kembali kian hari semakin lemah.
Sakit sekali rasanya hatiku, menyesal kenapa tidak dari dulu aku mendengarkan keinginan ayah mungkin saja aku sudah mampu membuatnya bahagia, bahkan merubah dinding batu menjadi bertembok dan bercat serta lantai bertanah itu menjadi keramik yang nyaman untuknya. Tetapi walau begitu aku tak pernah menyalahkan segala hal.
Bergulir waktu keadaan ayah semakin memburuk bahkan kakak-kakakku mulai melantunkan ayat suci Al-qur’an untuknya, malam-malam panjang kita selalu dihantui rasa takut kehilangan tetapi rupaanya ayah masih bertahan dengan rasa sakitnya itu.
Dua minggu sudah aku bekerja sebagai karyawan borongan gaji pertamaku turun dengan nominal yang bisa dibilang lebih besar dari pada honorku saat mengajar, namun hatiku masih berada disekolah. Merasakan lelah bekerja membuatku begitu rindu dengan anak-anak, biasanya kala aku lelah dan sedih mereka menjadi penghiburku.
Tubuhku terkuras lelah, pekerjaan yang dahulu hanya sebataas duduk, berbicara dan senam ringan kini mengangkat beban berat bagi seorang wanita, semangatku tak hilang sebab ayah menjadi penopangku.
Biasanya ketika pagi aku menggoreng ikan lele untuk ayah makan tetapi keadaan saat ini membuatku pupus untuk bahagia, ketika tubuh yang dahulu masih mampu berjalan dan duduk kini terkulai lemah ditempat tidur. Bahkan mulut yang dahulu selalu menjadi alarmku bangun tidur kini hanya mampu merintih kesakitan.
“Yah, maafin hai. Doakan hai jadi orang sukses” Ucapku pada tubuh kaku berselimutkan kain dan kerudung putih wajahnya, sementara lantunan ayaht suci al-qur’an terdengar.
Diwaktu senja Allah telah meminang hatinya, menjemput nyawa dalam tubuhnya. Saat itu aku sedang bekerja dan kakakku datang menjemput untuk pulang kerumah, sakit rasanya perpisahan tanpa pamit hanya air mata yang mengiri langkahku untuk pulang melihat ayah telah tiada.
Penyesalan itu semakin terasa, gaji pertamaku dan keingannya telah ku tunaikan tetapi ayah pergi meninggalkan. Mungkin saja jika aku menurutinya sejak dulu ia merasakan hasilnya, tetapi saat ini sebanyak apapun yang ku hasilnya rupanya percuma saja.
Kududuk disampingnya tertidur, air mata mengalir dengan bibirku membaca surat yasin untuk melepasnya pergi bersama cinta illahi. Hatiku tak percaya secepat ini engkau pergi meninggalkan, waktu semakin malam proses pemakaman pun semakin cepat.
Selepas dimandikan ayah dipakaikan kain putih lalu disholatkan dan kemudian dimakamkan, Allah sejauh ini engkau memisahkan kita. Hati yang telah engkau lekatkan ia dalam hidup ini. Kalimat Lailahaillah menjadi kesakitan tersendiri bagiku.
“Allah secepat ini engkau mencintainya, cintaku telah kau panggil. Ayah sejauh inikah jarak kita saat ini, haifa sendiri,” Kata batinku, melihat ayah perlahan dimasukkan kedalam liang lahat
“Semoga haifa nanti jadi PNS” kata itulah yang selaluku Aamiin-kan ketika ayah mendoakan aku. Semoga Allah mengabulkan apa yang telah menjadi do’anya dan lekas membumikan semua ucapan ayah dalam sujudnya.
Hatiku hancur selepas ayah dimasukkan kedalam kubur, ketika mendengar kakak laki-lakiku mengumandangkan adzan untuknya. Lagi dan lagi ayah kini haifa sendirian bukankah dulu ayah yang selalu meminta putri bungsu ini untuk menemani.
Ayah cintamu telah menyatu dalam hatiku, kasih sayangmu telah menjadi cinta terbaikku didunia. Tulusmu menjadi keikhlasan yang tak akan pernah tertandingi, sebab Allah menjadikanmu malaikat terbaikku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar